Chapter 16 : Kembali Membawa Luka Atau Harapan? - Hai, Assalamu'alaikum Readers

Sabtu, 18 Februari 2023

Chapter 16 : Kembali Membawa Luka Atau Harapan?




Adelard terus menggenggam punggung tangan Nafisah yang masih belum sadarkan diri. Wajahnya masih pucat bahkan seperti orang yang tidak berdaya. Sesekali Adelard mengusap pelan kening Nafisah lalu telapak tangannya itu berpindah ke pipi Nafisah.


Untuk pertama kalinya Adelard merasakan momen ini. Berada di samping sang istri dalam keadaan hamil. Hati Adelard serasa di remas, bagaimana dengan kondisi Nafisah dulunya saat dirinya di dalam penjara? Apakah Nafisah menanggung semua ini sendirian?


Adelard semakin erat menggenggam punggung tangan Nafisah. Tangan mungil berkulit putih itu terasa dingin dalam genggaman hangatnya.


"Kali ini aku tidak akan membuatmu sendirian lagi seperti sebelumnya. Maaf aku sudah mengabaikanmu selama 2 tahun ini."


Adelard merunduk hanya untuk mencium kening Nafisah. Sebenarnya sejak tadi Nafisah mendengar semuanya dalam keadaan berpura-pura memejamkan kedua matanya. Akhirnya Nafisah sudah tidak tahan lagi. Ia pun terisak pelan. Adelard terkejut.



"Jadi sejak tadi kau sudah sadar?"


"Please jangan semakin membuatku baper, Daniel."


"Kenapa kau kembali menyebut nama itu?!" emosi Adelard berhasil terpancing dengan suara dinginnya. Posisinya masih sama seperti sebelumnya, yaitu wajahnya yang masih dekat dengan wajah Nafisah.


"Karena hanya sosok Daniel yang dulu yang mengerti tentangku. Aku merindukannya bahkan sampai sekarang aku juga masih mencintainya. Jika dia tahu bahwa sekarang aku hamil, dia pasti akan senang dan terus memelukku. Dia akan terus mencintaiku sampai-sampai dia rela menyerahkan semua hidupnya untukku."


"Kau pikir aku tidak begitu juga? Biar bagaimanapun aku masih suamimu.."


"Suami yang terus membenci istrinya dan tidak mau memaafkannya?"


Adelard langsung memundurkan tubuhnya. Pandangan wanita itu begitu dingin karena Nafisah masih kecewa dengannya. Akhirnya Nafisah pun merubah posisinya, ia memiringkan tubuhnya dengan hati-hati.


"Sebaiknya Mas instropeksi diri dulu agar bisa benar-benar ikhlas memaafkanku."


"Aku sudah memaafkanmu semenjak aku mengetahui kau hamil lagi."


"Tetapi aku tidak ingin apa yang Mas lakukan sekarang hanya sebatas kasihan pada kondisiku. Percayalah aku sudah biasa diginikan bahkan sejak anak pertama."


Adelard menghela napasnya dengan kasar. Ia tidak menyangka Nafisah akan bersikap seperti ini padanya. Memang sejak ia bebas dari penjara dan apa yang ia lakukan pada Nafisah berhasil menguji kesabaran istrinya itu. Tetapi Adelard juga tidak menyalahkan sikap Nafisah saat ini karena istrinya itu berhak mengeluarkan perasaan kecewanya.


"Percayalah apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Jangan lama-lama kecewa padaku, aku hanya tidak ingin hal itu mempengaruhi kondisi kehamilanmu."


Setelah mengatakan itu, Adelard memilih keluar dari ruangan Nafisah. Sepertinya ia membutuhkan udara segar sejenak untuk mengisi rongga dadanya yang begitu sesak. Setelah suara pintu tertutup, air mata mengalir di pipi Nafisah. Ia tersenyum getir.


"Kamu tidak akan pernah tahu rasa ketakutan yang pernah aku rasakan Daniel. Ketakutan karena aku pernah kehilangan dia hanya karena sikapmu sebelumnya..."


****


Setelah mengetahui dimana posisi Zulfa, akhirnya Marcello nekat pergi ke rumah Adelard hanya untuk menemui wanita itu. Sesuatu baru saja terjadi, ia baru saja mendapati sebuah informasi dari orang kepercayaannya bahwa tunangan yang tidak di inginkan itu tiba-tiba datang ke Indonesia.


Valeria, putri tunggal semata wayang dari keluarga terhormat Valerio. Wanita cantik yang akan di calonkan dengannya hanya karena balas budi dari Stephano yang hampir saja gulung tikar! Marcello tak habis pikir, ia merasa seperti di jual oleh Ayahnya sendiri!


"Sebenernya apa yang di inginkan wanita menyebalkan itu ke negara ini? Liburan? Menemui rekan? Atau Urusan bisnis?"


Bahkan Marcello ragu atas semua praduganya itu. Ia menghela napas kasar.


"Tidak! Tidak mungkin. Pasti dia menginginkan sesuatu. Terutama bertemu denganku." akhirnya Marcello mengumpat kasar.


Tadinya Marcello ingin bertanya pada asisten rumah tangga Adelard di mana keberadaan Rafa. Setelah ia mengetahuinya, Marcello langsung mempercepat langkahnya menuju halaman belakang yang luas dan di penuhi banyak tanaman koleksi milik Nafisah.


Akhirnya Marcello menemukan Rafa sedang bersama Zulfa di sebuah gazebo. Zulfa duduk di pinggiran gazebo dengan wajah manisnya, sementara di hadapannya ada Rafa yang sedang berada di dalam baby stoller. Seketika perasaan Marcello langsung menghangat, perasaan kesalnya pada tunangan yang tak pernah ia anggap itu berhasil hilang tanpa jejak di pikirannya.


"Aku rasa kau mulai berdamai dengan bocah tampan ini."


Zulfa sedikit terkejut dengan kedatangan Marcello yang tiba-tiba. Seperti biasa, pria itu tetap terlihat tampan. Ketampanan yang berhasil membuat Zulfa berdebar setiap kali bertemu meskipun Zulfa membencinya.


"Ngapain kesini?!"


"Sudah jelas, kan? Bertemu denganmu dan putra kita?"


Emosi Zulfa berhasil terpancing. Wajahnya yang manis dan putih itu sekarang terlihat memerah karena menahan amarah. Bukannya perduli, Marcello malah beralih menggendong Rafa dan mencium pipinya.


"Hei jagoan! Daddy benar-benar merindukanmu. Bagaimana harimu, nak?"


Marcello langsung menaik turunkan gendongan Rafa hingga ketinggian yang Rafa rasakan berhasil membuatnya ceria dan tertawa. Zulfa berusaha tidak perduli sama sekali meskipun ia ingin sekali melihat reaksi wajah Rafa yang menggemaskan dengan senyumannya. Zulfa langsung berdeham. Ia pun berdiri dengan wajah yang dingin dan jutek.


"Kembalikan Rafa ke dalam baby stoller. Sudah saatnya dia tidur!"


"Kau mengusir Ayah dari anak ini?"


"Bisa nggak kalau ngomong jangan suka ngelantur?! Nggak takut apa kalau ucapan konyolmu itu di dengar sama asisten rumah sini!"


"Untuk apa aku takut kalau aku tidak salah sama sekali? Bukankah kau yang sedang takut?"


Zulfa ingin menyela tetapi Marcello langsung berdiri mendekati Zulfa. Sekarang, raut wajah Marcello terlihat serius.


"Aku kesini bukan tanpa alasan. Karena ada hal penting yang harus aku bicarakan padamu. Kau harus menjaga rahasia ini."


"Aku tidak ingin dengar apapun!"


Tiba-tiba Zulfa langsung mengambil alih posisi gendongan Rafa Marcello. Seperti sebelumnya, Rafa pasti akan menangis seolah-olah tidak ingin berpisah dengan Marcello. Marcello menatap Zulfa dengan tajam, tidak suka dengan tindakan Zulfa. Maka pria italia itu pun tidak mengizinkan Zulfa mengambil alih gendongan Rafa.


Sekarang, Marcello berusaha menenangkan Rafa sambil menepuk pelan punggung mungilnya. Pipi Rafa yang chubby itu sekarang bersandar pada bahu Marcello. Merasa kesal, akhirnya Zulfa pun berbalik dan melangkah pergi.


"Kalau begitu kau saja yang menidurkan dia!"


"Jangan pernah terlihat mendekati Rafa apalagi menemuinya untuk sementara waktu."


Ucapan Marcello barusan berhasil menghentikan langkah Zulfa. Zulfa menoleh ke arah Marcello, ia mengepalkan tangannya. Apa maksud pria bajingan ini sampai melarang dirinya bertemu anak Nafisah? Punya hak saja tidak!


"Kau pikir aku perduli dan mau menuruti permintaan bodohmu itu?"


"Kalau kau ingin dia selamat, maka lakukan apa yang aku katakan tadi."


Zulfa semakin tidak mengerti. Semakin kesini, semakin membuatnya bingung. Tetapi Zulfa tidak bisa mengabaikan ekpresi wajah Marcello yang tidak main-main. Akhirnya, Marcello mendekati Zulfa.


"Jangan bercanda!"


"Aku sedang tidak bercanda!"


"Ucapanmu barusan akan lebih tepat jika kau mengatakannya pada Nafisah dan Adelard. Mereka orang tua Rafa. Bukan aku ataupun kau!"


Marcello mencoba untuk bisa mengendalikan emosinya. Di saat seperti ini, Zulfa masih saja keras kepala. Tetapi Marcello mencoba untuk memaklumi, karena biar bagaimanapun ia pernah menorehkan luka bahkan merusak masa depan wanita ini.


Marcello menghela napasnya. Sesaat, ia menatap Rafa yang akhirnya tertidur dalam gendongannya. Ia menatap Rafa yang pulas dalam kedamaian tidurnya. Tatapan Zulfa pun beralih ke wajah Rafa. Ntah dorongan dari mana, tanpa sadar ia mempersempit jarak antara dirinya dan Marcello hanya untuk mengelus pelan pipi Rafa.


"Aku ingin membawa Rafa ke kamarnya." ucap Zulfa pelan, berusaha untuk mengalihkan semua ucapan Marcello yang berhasil membuatnya mulai khawatir.


Masih dengan posisi yang sama, Marcello dan Zulfa tidak melepaskan pandangan mereka dari wajah pulas Rafa.


"Kau benar soal tadi Zulfa. Seharusnya aku mengatakannya pada Adelard ataupun Nafisah. Tetapi masalahnya, mereka hanya orang tua sambung."


Detik berikut, kedua mata Zulfa dan Marcello bertemu. Saling menatap satu sama lain sementara wajah Marcello sudah di penuhi rasa kekhawatiran yang mendalam. Terutama keselamatan Rafa.


"Mungkin kau bisa membohongi siapapun soal Rafa. Tetapi kau tidak bisa membohongiku."


Detik berikutnya, air mata Zulfa langsung menetes dan jatuh mengenai pipi Rafa. Marcello melihat semua itu. Akhirnya, ia menyerahkan Rafa pada Zulfa dan pergi begitu saja tanpa harus berucap apa-apa lagi.


Sesak, itulah yang Marcello rasakan. Bahkan ia sendiri akhirnya merasa rapuh dengan kedua matanya yang  berkaca-kaca.


*****


Makin kesini, makin bikin nyesek. 

Tetapi makasih ya sudah baca 🙏😊😌


Maaf kemarin sempat tertunda update karena asam lambungku kambuh 😭


Jangan lupa nantikan chapter 17 ya, Insya Allah selasa depan. Seperti biasa, link chapter 17 bisa kalian klik melalui story instagram aku lia_rezaa_vahlefii. Jangan lupa di follow, Terima kasih 😘💕


Instagramnya : lia_rezaa_vahlefii



Tidak ada komentar:

Posting Komentar