Sembari menikmati kopi di siang hari di ruang tamu, kali ini Ayah Zulfa sedang tidak sendirian. Ada Kevin, sosok pria tampan kaya raya yang sebelumnya sudah pernah makan siang bersama dengan orang tuanya di kediaman Zulfa.
"Siang-siang kesini mau ngopi sama om, memangnya kamu nggak kerja?"
Kevin tersenyum kecil. "Kebetulan sekarang sudah jam istirahat. Biasanya saya kalau ngopi sendirian, tetapi hari ini saya teringat Om. Makanya saya langsung ke sini sekaligus silaturahmi."
Pria paruh baya yang sudah tidak muda itu hanya tertawa pelan. Sesungguhnya ia juga menyukai pria muda di depan matanya ini. Sangat cocok sekali sesuai dengan kriterianya untuk di jadikan seorang menantu.
"Oh iya, Om. Zulfa nya ada?"
"Ada. Tapi sepertinya dia lagi istirahat di kamarnya. Mau saya panggilkan?"
"Eh, nggak perlu Om. Mungkin Zulfa lagi capek. Biarkan saja dia beristirahat."
Sebenarnya Kevin sedikit kecewa karena sejak kegiatan makan siang bersama waktu itu hingga sekarang, Ia sama sekali belum bertemu dengan Zulfa. Padahal terakhir kali ia bertemu saat kejadian di minimarket yang ada di kota Bali. Saat dimana Marcello tidak mampu membayar semua belanjaanya hingga akhirnya Kevin sendiri lah yang rela membayarnya. Semua yang ia lakukan, demi menarik perhatian Zulfa.
"Baiklah. Oh iya, bagaimana kabar orang tuamu? Saya dengar mereka akan menjalankan bisnis baru-"
Pintu terketuk pelan. Papi Zulfa dan Kevin langsung menoleh ke arah pintu. Di sanalah Marcello berdiri dengan aura ketampanannya seperti biasa. Papi Zulfa mengerutkan dahi sebentar, seperti merasa familiar dengan sosok Marcello. Akhirnya pria paruh baya itu berdiri.
"Maaf cari siapa?"
"Anda lupa sama saya?" Marcello tersenyum ramah sambil berbasa-basi.
"Siapa ya? Tapi sebenarnya wajah kamu ini familiar loh."
Lalu Marcello melepaskan kaca mata hitam yang ia pakai. Marcello tersenyum lebar. Tetapi tanpa siapapun sadari, justru Kevin terlihat sebal. Jelas sekali kalau ia tidak menyukai kedatangan Marcello. Merusak suasana saja.
"Masya Allah! Kamu yang dulu teman Zulfa itu ya? yang pernah kesini bertamu di malam hari?"
"Itu benar, Pak."
Tanpa diduga Marcello meraih punggung tangan Papi Zulfa dan menciumnya. Hal itu lah yang sering Marcello lihat ketika Adelard melakukannya pada keluarga Nafisah yang lebih tua. Ini pertama kalinya Marcello melakukannya pada Papi Zulfa dan itu berhasil.
"Ya Allah, kamu apa kabar, nak? Ayo masuk. Kenalin, ini anaknya teman saya. Namanya Kevin."
Marcello tersenyum miring. Seperti memberikan tatapan meremehkan pada Kevin. Akhirnya Kevin pun berdiri dan mau tidak mau membalas jabatan tangan Marcello.
"Kevin."
"Marcello."
Benar apa kata orang kepercayaan Marcello. Tangan kanannya itu memberi informasi bahwa Kevin sedang mendekati keluarga Zulfa. Tentu saja Marcello tak tinggal diam. Ia harus bertindak hari ini juga. Meksipun dengan cara licik sebelum wanita tercintanya itu di miliki pria lain.
Akhirnya mereka duduk. Tak lama kemudian asisten rumah tangga pun mengantarkan secangkir kopi untuk Marcello. Marcello meminumnya dengan nikmat, juga rasa percaya dirinya yang sebentar lagi akan ia lakukan sesuai rencananya.
"Lama tak terlihat. Masih tinggal di negara ini Marcello?" tanya Papi Zulfa.
"Maaf Pak. Saya sibuk bekerja sehingga membuat saya tidak sempat kemari. Perusahaan saya sedang mengalami kendala-"
Kevin langsung terbatuk. Sementara Papi Zulfa dan Marcello langsung terdiam.
"Minum dulu nak, Kevin."
"Terima kasih, Om."
Kevin meminum kopinya. Rasanya ia ingin tertawa saja. Apa katanya? Perusahaan? Ck, membayar hutang 15 juta saja Marcello tidak mampu. Bagaimana mungkin pria pembohong ini memiliki perusahaan? Marcello menyadari kenapa Kevin terbatuk. Pria itu pasti sengaja.
"Papi, Zulfa mau-"
Tiba-tiba Zulfa menghentikan langkahnya. Ia tidak tahu kalau siang ini ada kedatangan dua pria yang sama sekali tidak ingin di temuinya sampai kapanpun.
Zulfa sudah berpenampilan rapi. Memakai gamis putih dengan cardigan berwarna hijau sage dan tak lupa dengan totebag warna putih yang sudah ia sampirkan ke bahunya.
"Kamu mau pergi nak?" tanya Papi Zulfa.
"Biar aku antar."
"Biar aku antar."
Tiba-tiba Marcello dan Kevin sama-sama berdiri. Zulfa mencoba untuk meredam rasa kesalnya kepada mereka yang semakin terlihat menyebalkan.
"Aku tidak jadi pergi, Papi." Akhirnya Zulfa kembali masuk dengan raut wajahnya yang datar. Sepertinya ia tidak akan keluar sampai dua pejantan sialan itu benar-benar pergi dari sana.
Marcello pun berdiri, "Maaf permisi, saya mau terima panggilan ini dulu." ucap Marcello pun sambil memperlihatkan ponselnya.
Setelah Marcello sampai di luar teras, ia sedikit celingukan kesana kemari. Memastikan kalau situasinya aman. Marcello melangkah dengan pelan, menuju samping rumah Zulfa. Marcello sedikit mendongak ke lantai 2. Ia yakin kamar Zulfa pasti di atas sana.
Akhirnya Marcello nekat, membawa tangga darurat yang kebetulan ada di samping pohon mangga. Marcello mulai menaiki anak tangga satu per satu dengan wajah pucat dan keringat yang bercucuran. Setelah ia berhasil menaiki balkon, Marcello menghela napas.
Di satu sisi...
"Marcello dan Kevin benar-benar keterlaluan! Mereka itu sebenarnya janjian atau apasih? Kok bisa barengan?!" sungut Zulfa kesal, ia pun terduduk di pinggir ranjang dan mulai melepas peniti yang terpasang dibawah dagu hijabnya.
"Tentu saja bisa barengan. Apalagi kalau tujuannya itu adalah dirimu."
"Astaghfirullah!"
Zulfa langsung membalikkan badannya. Peniti yang tadinya sudah terlepas tiba-tiba terjatuh ke lantai dan hilang ntah kemana. Zulfa berusaha mempertahankan hijabnya agar rambut nya tidak terlihat.
"Kamu ngapain disini?!" Zulfa menatap Marcello dengan tajam, suaranya terdengar pelan dan penuh penekanan.
"Aku ingin berbicara penting denganmu."
"Apapun itu, tidak ada yang lebih penting selain dirimu yang harus benar-benar pergi! Cepat!"
Marcello tersenyum lebar. Bukannya pergi pria itu malah rebahan di atas tempat tidur Zulfa. Bahkan tanpa permisi pria itu mencium pelan aroma bantal wanita itu dan berhasil membuat Zulfa ilfeel.
"Aku rindu aroma ini. Aromanya sama seorang aroma tubuhmu. Terakhir aku merasakannya 2 tahun yang lalu."
"Cepat pergi dari sini! Dasar pria bajingan!" Akhirnya Zulfa memukul kaki Marcello menggunakan boneka beruang dengan satu tangan. Sementara tangan satunya masih ia pertahankan untuk memegang jilbabnya.
"Aku tidak mau, aku lelah."
"Marcello!"
"Aku penasaran, apakah rambutmu masih sama panjang seperti dulu ketika aku membuka jilbab itu?" Marcello semakin gencar untuk memancing emosi Zulfa. Sejak dulu, ia paling suka melihat Zulfa kalau sedang marah karena kadar kecantikan wanita itu semakin bertambah.
"Zulfa, kamu ngomong sama siapa di dalam?" Tok tok tok!
Tiba-tiba suara pintu terketuk nyaring. Mami Zulfa menegurnya dari luar. Padahal Zulfa dan Marcello sudah berdebat dengan suara yang nyaris pelan.
"Bukan siapa-siapa, Ma. Zulfa sendirian."
"Buka pintunya." Tok tok tok. "Mama nggak bisa masuk, pintunya kamu kunci."
Tatapan Zulfa langsung beralih ke Marcello. "Cepat pergi dari sini!"
"Urusan kita belum selesai, yank."
"Yank yank yank! Matamu Yank! Pergi sebelum aku berteriak kau tukang perkosa."
"Bukankah aku sudah menidurimu? Jadi untuk apa kau berteriak lagi?"
"Marcello?!"
Tok tok tok!!!!
"Zulfa? Kenapa lama sekali buka pintunya."
"Bentar Ma, Zulfa lagi ganti baju!"
"Serius? Aku mau lihat kamu ganti baju." Pandangan Marcello berhasil membuat Zulfa semakin benci.
"Dasar bajingan!" Dengan kesal akhirnya Zulfa pun menarik paksa kerah kemeja Marcello hingga berhasil membuat pria itu terbangun.
Marcello sampai terserer-seret ke lantai dan terbatuk-batuk karena lehernya serasa tercekik. Zulfa menyeret Marcello hingga menuju pintu balkon.
"Zulfa, ini Mami buka pintunya!"
Tok! Tok! Tok!
"Kamu harus pergi dari sini sebelum-"
Pandangan Zulfa dan Marcello langsung melongo lebar. Tanpa di duga Papinya sudah berdiri di ujung balkon sambil bersedekap.
"Pa.. Papi?" Zulfa langsung tergagap. Ia benar-benar tertangkap basah kali ini. Sekarang, ia merasa perang Dunia ke 3 akan datang sebentar lagi ke dalam hidupnya.
"Habis ngapain?" tanya Papi Zulfa dengan tatapan amarah dan mengintimidasi.
"Aku.. Aku.. Papi aku bisa jelasin."
"Jilbabmu aja sudah nggak bener. Meleyot sana sini.. Tangga di pohon mangga juga sudah berpindah ke balkon sini."
Marcello tak tinggal diam meskipun ia tidak merasa takut sama sekali. "Maafkan saya Pak. Saya lancang. Seharusnya anda marah dengan saya. Saya-"
"Apakah putri Papi ini masih menjaga kesuciannya?"
DEG!
Zulfa meneguk ludahnya dengan gugup. Pertanyaan yang di luar dugaan baru saja terucap dari sosok Papi yang ia cintai selama ini.
"Papi, kenapa tanya begitu? Aku-"
"JAWAB! IYA ATAU TIDAK!"
Tiba-tiba pintu kamar langsung terbuka begitu Mami Zulfa berhasil membukanya melalui kunci cadangan yang ia simpan.
"Papi, ini nggak seperti yang Papi kira. Aku.. Aku masih.." Zulfa tak bisa melanjutkan kata-katanya. Seharusnya ia menyimpan rahasia ini sampai dia tiada. Tetapi sepertinya takdir pun berkata lain.
"Zulfa, kenapa ada laki-laki yang bukan mahram di kamar kamu?!" pertanyaan Mami Zulfa semakin membuat keadaan bertambah rumit bagi Zulfa. Sekarang Zulfa merasa di intimidasi.
"Kami pernah tidur bersama di sebuah hotel 2 tahun yang lalu. Saya yang merenggut kehormatan Zulfa." ucap Marcello akhirnya tanpa ragu sedikitpun. Walaupun Marcello tahu, apakah sebentar lagi nyawanya masih aman atau tidak di hadapan Papi Zulfa
****
Mau di tutupin gimana, akhirnya ketahuan juga. Peluk Zulfa 🥺
Halo maaf ya baru up, seharusnya kemarin. Tetapi karena sibuk, jadinya nggak sempat. Terima kasih sudah baca. Cgapt 19 Insya Allah bsk.
Jgn lupa follow instagram aku lia_rezaa_vahlefii untuk melihat notip chapter 19 ya❤
With Love, Lia.
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar