Jumat, 17 Januari 2020

Chapter 64 : Mencintaimu Dalam Diam






Devian pulang dalam keadaan lelah berkepanjangan. Ia memasuki halaman rumahnya begitu penjaga rumah yang selalu berada didekat pintu pagar membuka pintunya. 

 

Devian menatap mobil Adila yang terparkir rapi. Menandakan bila istrinya itu sudah pulang. Ada rasa rindu didalam hatinya tapi ia tahan. 


Tak mau memikirkan banyak hal, Devian segera memasuki rumahnya yang terasa sunyi. 

 

Devian mencoba menulusuri seisi rumah. Berharap menemukan istrinya yang mungkin sibuk melakukan aktivitas lain. Tapi Devian tidak menemukannya. 

 

Hanya ada satu ruangan yang belum ia telusuri, yaitu kamarnya. Ia pun segera memasukinya dan hawa dingin dengan lampu gelap gulita yang ia dapatkan. 

 

Devian meraba dinding, mencari saklar lampu kemudian menghidupkannya dan ia terkejut melihat Adila yang bergelung di atas ranjang dengan selimut tebal sambil meringkuk. 

 

"Adila.." 

 

Tidak ada jawaban. Tapi selimut tersebut terlihat gemetar kecil. Tanpa ragu Devian menyibaknya dan ia melihat Adila meringkuk sambil mengigil. 

 

"Adila!" panik Devian. Ia duduk di samping istrinya kemudian merubah posisi Adila hingga terlentang. 

 

Devian mengulurkan telapak tangannya di kening Adila. "Kamu demam. Apakah tadi kamu terkena hujan?"

 

Sayup-sayup Adila hanya mengangguk. Ia tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan Devian kali ini. Bibirnya pucat. Dan ia mual sambil memegang mulutnya menggunakan telapak tangannya. 

 

Devian meraih stetoskop di laci mejanya kemudian tanpa ragu menyingkap bagian ujung piyama tidurnya. 

 

"Maaf. Aku harus memeriksamu Dil." 

 

Adila memilih diam. Kepalanya terasa pusing. Devian sedang fokus menempelkan stotoskop kearah perut Adila. 

 

"Kamu masuk angin dan juga demam." 

 

Adila mendengar tapi alih-alih merespon, ia hanya bisa sayup-sayup menatap Devian yang sedang khawatir dengannya. Devian kembali memeriksa bagian dada Adila dengan sedikit membuka dua kancing piyamanya. Seharusnya Adila saat ini benar-benar malu tapi saat ini ia sendiri brgitu lemah. Devian semakin khawatir begitu melepas stetoskopnya.

 

"Kamu punya riwayat asma?"

 

Adila mengangguk. 

 

"Rubah posisi tidur kamu. Jangan terlentang." 

 

Devian membantu Adila duduk bersandar dengan berbantalan empuk di punggungnya. Dengan penuh perhatian Devian kembali mengancingkan piyama Adila bahkan mengikat rambut istrinya bentuk cepolan di puncak kepala agar tidak gerah. 

 

Kalau disaat seperti ini, Devian tidak bisa mengabaikan Adila. Penyakit asma memang tidak bisa di biarkan sembarangan. Bahkan ia bisa melihat Adila sedikit susah bernapas meskipun belum terlalu parah untuk kambuh. 

 

Devian menyodorkan segelas air hangat untuk Adila dan obat untuknya, membantu meminumkannya setelah beberapa menit yang lalu ia berganti pakaian lebih santai bahkan sempat mandi air hangat untuk menyegarkan tubuhnya. 

 

"Mas.." lirih Adila. 

 

"Yang mana yang sakit?"

 

"Kepalaku pusing." 

 

"Obatnya akan bekerja sebentar lagi. Bersabarlah." 

 

Devian menyentuh lembut pipi Adila. Posisinya tetap sama seperti tadi dan Devian duduk sambil menghadap istrinya.

 

Dan Adila menundukan wajahnya. Ia menangis. Hal yang sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu bila sedang sakit terutama area rongga dadanya yang sesak akibat asma. 

 

"Butuh uap kerumah sakit? Aku tidak tau kamu memiliki asma. Aku janji besok akan membelikan tabung oksigen yang memang bisa di sediakan dirumah untuk penyakit asma seperti mu."

 

Adila mengangguk. Dan jari Devian pun menghapus air mata di pipi istrinya. 

 

"Maaf." lirih Adila.

 

"Kenapa?" 

 

"Tadi aku kerumah sakit dan lihat mas sibuk. Jadi aku pulang lagi."

 

"Kamu datangin aku?" 

 

"Hm."

 

"Kenapa tidak menghubungi aku Dila?" 

 

"Aku.. em aku.." 

 

Devian tidak menunggu respon istrinya. Yang ia lakukan saat ini hanyalah memeluk Adila dengan lembut. Mengusap punggungnya secara perlahan dan menenangkannya. Ini pertama kalinya mereka berpelukan setelah menikah. 

 

"Maaf ya." bisik Devian.

 

"Maaf kenapa?"

 

"Aku peluk kamu seperti ini. Tolong jangan marah atau ilfil denganku. Aku khawatir karena kamu belum menerimaku." 

 

๐Ÿ–ค๐Ÿ–ค๐Ÿ–ค๐Ÿ–ค

 

Pintu terbuka setelah Arvino membukanya dan langsung menarik pergelangan tangan Aiza. Aiza hanya menurut dan Arvino mengabaikan Leni yang tidak banyak berkata. Leni memilih menunggu di parkiran kampus. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Semua mahasiwa sudah pulang. 

 

Tinggal para penjaga dan satpam kampus yang berlalu lalang. Leni memilih menunggu Aiza, Antisipasi bila Nona mudanya itu benar-benar akan sebentar saja menemui Arvino meskipun itu adalah hal yang belum tentu pasti.

 

Sementara Aiza, ia menundukan wajahnya bahkan ketika suara dentuman keras yang berasal dari pintu tertutup membuatnya semakin ketakutan. Aiza memegang ujung hijabnya dengan gugup. Berusaha menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah di pipinya. 

 

"Ada perlu apa?" tanya Arvino tanpa basa-basi. 

 

"Aku.. aku hanya ingin bertemu Mas."

 

"Oh oke." Arvino memilih duduk disofa ruangan Dosennya kemudian mengeluarkan ponselnya seolah-olah seperti sok sibuk. Aiza ikut duduk disamping Arvino. Ia pun menyenderkan dahinya pada lengan Arvino. 

 

"Walaupun hanya satu detik semua begitu berharga bila bersama Mas."

 

"Sejak kapan kamu berbicara panjang ? Bukankah selama ini kamu irit bicara? sindir Arvino santai

.

"Apakah tidak boleh?" tanya Aiza polos. "Aku begini cuma sama Mas."

 

"Oh ya?" Arvino berdeham. "Aku ngantuk. Ayo kita pulang."

 

"Mas?"

 

"Hm."

 

"Mas baik-baik saja kan? Kenapa Mas begitu dingin padaku?"

 

Arvino berdiri dari duduknya bahkan melenggan pergi tanpa mau mengamit tangan Aiza seperti biasanya. "Aku baik-baik saja."

 

Aiza menatap Arvino yang sejak tadi menundukan wajahnya. "Aku minta maaf atas kejadian kemarin."

 

"Oke." 

 

Ntah kenapa Aiza merasa was-was, sebelum Arvino mencapai pintu ruangan Aiza segera memeluk Arvino dengan erat. Dan air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya meluruh di pipinya.

 

"Hentikan Mas. Tolong jangan diamin aku. Sudahi semuanya. Demi Allah aku takut Mas marah denganku." 

 

Tanpa Aiza sadari, Arvino hanya tersenyum sinis. Ia tahu Aiza sedang bersedih. Tapi bagaimana dengan kenyataan yang ada? Apakah ia sanggup menahan cemburu melihat istrinya bersama pria lain diluar sana bahkan mirisnya lagi Aiza pulang kerumah hingga pukul 21.00 malam?

 

"Aku lelah. Perasaanku sedang sesak. Hatiku terluka dan Aku pusing. Jika Mas tetap bersikeras seperti ini, Aku hanya bisa sabar. Aku serahkan semua ini pada Allah. Demi Allah aku tulus meminta maaf dengan Mas." ucap Aiza lirih.

 

"Aku melalui masa-masa morning sickness saat ini dan aku susah tidur. Aku terbiasa tidur dipelukan Mas. Aku ingin bermanja dengan Mas." Tanpa diduga Aiza pindah posisi berdiri dihadapan Arvino. Aiza membawa telapak tangan Arvino keperutnya. 

 

"Dia masih kecil. Sangat kecil. Usianya mau dua bulan. Jantungnya mulai terbentuk. kemarin aku ke Dokter sama Aunty Leni." bisik Aiza.

 

Arvino berusaha menahan sabar. Benarkah ia bersama Leni ke Dokter kandungan? Bagaimana dengan pria asing itu? Ah tentu saja pria itu ikut menemani Aiza. Arvino tersenyum masam. Ia tidak mengubris semua perkataan Aiza meskipun Aiza memeluknya tubuhnya dengan erat.

 

"Kemarin aku ngidam. Tapi aku tahan. Aku ingin bilang. Tapi aku takut. Setidaknya aku sudah mengutarakan semuanya sama Mas."

 

Arvino hendak melepaskan rengkuhan Aiza dari tubuhnya. Namun Aiza menolak. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada Arvino. 

 

"Mas jangan marah. Aku tidak jadi mengidam kok. Aku tahu diri untuk tidak merepotkan Mas Vin."

 

"Oke. Terserah. Aku juga lelah mau kesana kemari menuruti keinginan ngidammu itu."

 

Aiza mengabaikan air matanya yang mengalir di pipinya. Hatinya begitu pedih mendapati kenyataan mengapa Arvino berlaku demikian. Aiza sudah berusaha mendesaknya mencari tahu mengapa sifat Arvino berubah tapi kenapa Arvino tidak berkata semuanya?

 

"Mas adalah alasan aku kesini. Aku rela malam-malam begini mendatangi Mas" Aiza pun menyentuh detak jantung Arvino. "Dan hati Mas adalah tempat aku berada. Namaku sudah terukir disana begitupun nama Mas Vin sejak 3 tahun yang lalu di hatiku."

 

Dan Arvino merasa muak dengan ucapan Aiza. Benarkah Aiza mencintainya sementara seorang pria asing yang bersama istrinya itu malah seenaknya menyentuhnya bahkan semakin membuatnya cemburu?

 

"Aku ingin bersama Mas dalam kedekatan seperti ini. Karena kalau sudahdirumah Mas akan menghindariku lagi dan menjauhiku. Izinkan aku, hanya sebentar. Aku butuh imam surgaku sekarang, tempat aku bersandar."

 

๐Ÿ–ค๐Ÿ–ค๐Ÿ–ค๐Ÿ–ค

Author yang nulis kenapa author yang berkaca-kaca. Masya Allah Aiza ๐Ÿ˜ญ

Pembaca dari jaman Stay With Me akan terbiasa dengan cara membuat alur seperti ini dari author. Mereka sudah terbiasa menangis dengan hati tersayat dan author bersyukur Alhamdulillah sudah bikin alur untuk menghibur mereka dg semua karya-karya author bahkan sampai membeli versi novelnya๐Ÿ–ค

Bagi yang pembaca baru, jangan kaget. Author dari dulu kalau bikin alur emang begini. Dari jauh part sudah bilang yang gak tahan boleh out kok ๐Ÿ™

Karena setiap cinta, punya cerita. Berani mencintai, berani siap untuk memperjuangkan.
Seperti Aiza, mencintai Arvino karena Allah ๐Ÿ–ค

Terima kasih sudah baca.
Instagram ; lia_rezaa_vahlefii




LANJUT CHAPTER 65. KLIK LINK NYA :

2 komentar: