Arvino merasa kesal, gundah dan gulana. Ia kepikiran Aiza. Padahal sudah seminggu berlalu. Sebentar lagi Aiza akan 5 bulan. Gak kerasa 9 bulan dan Arvino menggeram kesal karena tidak bisa berada di sisi Aiza seutuhnya.
Dan sekarang Arvino menyesal, telah mengerjai Aiza selama 4 bulan.
Tak kuasa menahan dadanya yang sesak akibat rindu yang membuncah, Arvino segera meraih kunci mobil lalu menuju apartemen Afnan saat ini juga. Kalau perlu menyeret paksa pria itu untuk ikut dengannya mendatangi Aiza.
Tapi, Arvino kembali berhenti. Ia kembali duduk dan berpikir dengan mengeluarkan ponsel yang ada di saku celana jeansnya.
"Ran, aku butuh bantuanmu. Culik Om Afnan kesini sekarang juga. Iya, aku tau. Baiklah. Oke aku tunggu."
Arvino menghela napas. Ia meletakkan ponselnya di atas meja kecil lalu menyenderkan tubuhnya sambil mendongakkan wajahnya menatap langit-langit rumah.
"Kenapa rindu yang tidak terlampiaskan itu gak enak?" kesal Arvino.
Arvino meraih ponselnya, mencoba membuka aplikasi sosial media dan berharap ada notifikasi yang berasal dari Aiza. Mungkin notifikasi wanita itu menglike postingannya, atau-
"APA??!!!!!" Arvino membulatkan kedua matanya tak percaya. "Aiza unfollow aku di Instagram?!" Arvino kembali duduk tegak. "Ia mencoba membuka aplikasi Facebook, Twitter, Line, WhatsApp. Keempat aplikasi itu benar-benar tidak ada Aiza sama sekali. Aiza sudah memblokirnya. "Ini tidak bisa di biarkan!"
Sambil menggeram erat ponselnya, Arvino mencoba menghubungi Aiza dan nomor ponselnya tidak aktip. Rasanya Arvino ingin berteriak saat ini juga.
Pintu terbuka dan Randi begitu cepat membawa Afnan sambil bersungut-sungut kesal, sementara di tangannya ada semangkok bakso yang masih panas.
"Ini Tuan, Om Afnan sudah di tangan saya."
Arvino mengerutkan dahinya. "Cepat sekali."
"Kebetulan saya menemukannya di pinggir jalan saat sedang membeli bakso."
"Dan aku membayar empat kali lipat dari harga baksonya karena harus membawa mangkuk ini juga!" sela Afnan dengan tajam. Afnan beralih menatap Randi. "Lepaskan aku! Aku sudah disini kan?!"
Randi menatap Arvino, meminta isyarat apakah Afnan di lepaskan atau tidak.
"Lepaskan saja dia Ran. Kamu boleh pergi."
"Baik tuan. Saya permisi." Randi yang berpakaian serba hitam sejak dulu itupun menunduk hormat kemudian pergi. Arvino menatap Afnan yang sepertinya sedang kelaparan.
"Om Afnan-"
"Kuah ini masih panas loh. Kalau di simbur ke wajahmu rasanya seperti terbakar. Mau coba?"
Arvino menatap Om Afnan dengan ngeri dan ia tau sepertinya Afnan sedang tidak ingin di ganggu. Baiklah, dia akan menunggu sambil beringsut menjauh dan meninggalkan Afnan sejenak dengan bakso kesayangannya.
****
"Sudah aku bilang kampret, Keponakanku itu sulit dibujuk kalau dia sedang marah."
"Tapi-"
"Makanya jangan cari masalah sama dia. Dia suka sama kamu saja seharusnya kamu sudah bersyukur dan kamu orang pertama yang dia kejar."
Arvino menatap datar halaman luas rumahnya. Saat ini jam sudah menunjukan pukul 20.00 malam.
"Ya terus aku harus bagaimana Om?"
"Aku tidak bisa membantu Arvino."
"Sebenarnya Om dan Kak Naura ada masalah apa sehingga membuatku sulit mengajak Om Afnan ke Balikpapan hanya untuk membantu membujuk Aiza dan menjelaskan semuanya?"
Tanpa Arvino sadari, Afnan meremukkan botol plastik air mineral di tangannya karena tiba-tiba ia teringat kenangan di masalalu yang pahit. Ini sudah ke sekian puluh kalinya Arvino bertanya tentang dirinya dan Naura. Mengingat situasi, tidak ada salahnya Afnan menceritakan semuanya apalagi status Arvino sudah menjadi keluarga baginya.
"Naura membenciku karena sebuah pernikahan yang tidak diinginkan olehnya."
"Maksud Om?"
Afnan menarik napas. Lalu menghembuskan dengan perlahan. "Dulu aku mencintai seseorang. Dia salah satu wanita yang bekerja dihiburan malam. Dia teman sekolahku. Aku menyukainya sejak lama dan aku berniat menikahinya tapi semua keluargaku tidak menyetujui karena pekerja wanita itu yang akan membuat malu semua keluarga kami. "
"Padahal saat itu dia ingin hijrah dan menikah denganku. Awalnya dia ragu kalau aku berniat menikahinya. Tapi aku mengatakan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku mencintainya dengan tulus."
"Terus? Apakah pernikahan itu terjadi?"
Raut wajah Afnan berubah sendu."Sayangnya tidak. Dia meninggal."
"Innalilahi wainnailaihi rojiun. Aku turut berdukacita atas kepergian calon istri Om."
"Terima kasih." Afnan tersenyum miris. "Aku meminta restu pada orang tua Aiza karena ayah dan ibuku sudah meninggal. Kakak kandungku dan Kakak iparku itu benar-benar menyayangiku dan tetap tidak merestuiku. Setelah itu, aku nekat pergi ke Jawa Timur hanya untuk berniat menikahi wanitaku itu.. dan.." Arvino masih setia mendengarkan kelanjutan cerita masalalu Afnan.
"Dan aku tidak tahu bahwa orang tua Aiza menyusulku ke Jawa menggunakan pesawat dan. pesawat itu mengalami kecelakaan sehingga orang tua Aiza meninggal. Aku tahu ini sudah menjadi takdir. Aiza dan Naura menjadi anak yatim piatu. Naura pun menyalahkanku atas semua ini. Dia benar-benar membenciku dan tidak ingin melihatku lagi. Dia menyalahkanku atas kepergian Ayah Ibunya."
"Kapan kejadian itu?'
"Saat Aiza duduk dibangku kelas 9 sekolah menengah pertama. Umur ibu kandung Aiza ketika itu berusia 40 tahun. Sedangkan aku saat itu masih berusia 25 tahun."
"Bagaimana dengan calon istri Om? Apakah dia meninggal karena sakit?"
"Dia meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Seminggu sebelum aku akan menikah dengannya."
"Aku akan membantu Om memperbaiki hubungan Om dengan Kak Naura."
Afnan kembali menatap Arvino setelah sejak tadi menatap datar halaman luas rumah Arvino dari balkon.
"Tapi Om harus membantuku juga membujuk Aiza. Kalau Aiza menolakku, setidaknya dia masih mau menerima penjelasan Om.."
****
Sesuai kesepakatan keduanya, Arvino dan Afnan pergi ke kota Balikpapan yang memakan waktu kurang lebih 2 jam.
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi. Arvino tiba di kota Balikpapan sesuai jam yang sudah di tentukan dan segera menuju ke kediaman Aiza.
"Aku masih ragu."
Arvino mematikan mesin mobilnya dan menatap Afnan begitu setengah jam kemudian tiba di halaman rumah Aiza.
"Ragu kenapa?"
"Sama Naura lah. Aku takut dia masih tidak menerimaku."
"Tenang saja. Ayo keluar."
Dengan was-was Afnan menuruti perintah Arvino. Padahal Arvino sama cemasnya hanya untuk membujuk dan meminta maaf dengan Aiza.
"Assalamualaikum."
Arvino dan Afnan sudah berdiri di depan teras rumah Aiza. Tak lama kemudian, Naura keluar.
"Wa'alaikumu-"
Tenggorokan Naura tercekat. Kedua matanya terkejut dan hatinya tiba-tiba pedih ketika setelah sekian tahun lamanya tanpa kabar Afnan tiba-tiba hadir didepan matanya.
"Wa'alaikumussalam."
Arvino berucap. "Em maaf kak, apakah-"
Naura tidak menjawab, ia kembali masuk dengan menghenttakan kedua kakinya dengan cepat.
Arvino mengerutkan dahinya. "Lah, kenapa Naura masuk lagi? Apakah kita tidak di terima?"
Afnan panik. "Payung mana payung!"
"Apanya?"
"Aaarghhh! Kita harus pergi sebelum-"
BBYUUUUURRRRRRRR!!!!!!!
Tanpa di duga, Naura membawa ember besar yang berisi air cucian piring didapur lalu menyiramkan ke arah Arvino dan Afanan.
"PERGI KALIAN DARI SINI!" bentak Naura dengan amarah dan tatapan tajamnya. "KALIAN TAUNYA CUMA NYAKITIN PERASAAN WANITA SAJA!!!!!!!"
****
Jauh-jauh dateng malah di simbur 😂. Lumayan loh, dari Samarinda ke kota Balikpapan itu 2 jam. Duduk 2 jam sambil mengendarai mobil jelas aja capek. Sudah haus, kering kerontang, laper wkwkw.
Si Afnan ketakutan gak di maafin karena masalalu pahit di keluarga.
Yang satunya malah kangen gak terlampiaskan.
🤣🤣🤣🤣
Maaf ya, semalam ketiduran karena tepar. Kalian sudah sahurkan? Di Samarinda sudah jam 5 subuh, sudah imsak 😄
Tapi terima kasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian 😘😘
With Love
LiaRezaVahlefi
LiaRezaVahlefi
Instagram :
lia_rezaa_vahlefii
LANJUT CHAPTER 75. KLIK LINK NYA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar