Nafisah masih duduk sambil melamun memikirkan Zulfa. Ntah kenapa akhir-akhir ini ia memikirkan bestienya itu. Terakhir bertemu dengannya, sewaktu mereka masih di Bali. Lalu terakhir berkomunikasi, sewaktu malam satu hari sebelum ia di opname di rumah sakit.
"Sayang kok melamun? Kamu tidak senang kalau hari ini bisa pulang?"
Tiba-tiba Adelard datang sambil membawa kantong plastik berisi beberapa obat dan vitamin ibu hamil untuk Nafisah. Tatapan Nafisah langsung beralih ke arah suaminya, bahkan ia sendiri hampir lupa kalau hari ini ia sudah di izinkan pulang oleh Dokternya.
"Mas Daniel?"
"Kamu baik-baik saja?"
Adelard langsung duduk di pinggiran ranjang pasien. Ia mengelus pelan pipi Nafisah yang makin hari semakin terlihat chubby.
"Alhamdulillah aku baik. Em, jam berapa kita keluar dari sini?"
"Sekarang sudah bisa. Ayo aku bantu kamu duduk di kursi roda."
Pintu ruangan kembali terbuka. Bagas pun masuk lalu dengan cekatan langsung menjalankan tugasnya. Menarik 1 koper berukuran sedang yang berisi pakaian Adelard dan Nafisah selama kurang lebih hampir seminggu berada di rumah sakit.
Nafisah sudah duduk di kursi roda. Perlahan, Adelard mendorongnya ke kuar begitu Bagas sudah berjalan terlebih dahulu.
"Mas?"
"Hm?"
"Bagaimana kabar Rafa? Hari ini dia baik-baik aja, kan?"
"Alhamdulillah dia selalu baik setiap harinya. Putra kita itu pintar sekali. Tidak sedikitpun dia rewel apalagi sampai sakit semenjak kamu di rawat disini."
Nafisah tersenyum penuh arti. Dalam hati ia merasa lega. "Alhamdulillah kalau begitu. Dia memang terbiasa sama Zulfa sejak dulu. Makanya Rafa tidak rewel ataupun menangis."
Adelard yang tadinya tersenyum langsung merubah ekpresi wajahnya menjadi kaku. Adelard sadar kalau Nafisah belum mengetahui sama sekali perihal Zulfa dan kondisinya. Nafisah pikir Rafa masih bersama Zulfa, padahal sebenarnya tidak. Malahan sekarang Rafa ada di rumah bersama pengasuhnya yang baru.
"Mas, kok diam?"
"Maaf, aku hanya sedang banyak pikiran." ucap Adelard dengan alasan yang lain.
"Pikiran apa? Gara-gara ruwet ngurus aku ya?"
"Tentu saja tidak, sayang. Hanya masalah pekerjaan di penerbit."
"Bagaimana penerbit Mas sekarang? Masih berjalan dengan lancar kan?"
"Masih, cuma tidak seramai dulu. Ah bukanlah bulan depan novelmu akan terbit?"
Nafisah mengangguk. "Iya, padahal aku ngajuin dari 2 tahun yang lalu. Masih ingat kan, waktu Mas pernah numpahin jus ke laptop aku ketika aku lagi fokus revisi naskah sambil duduk di cafe?"
Adelard langsung tertawa, sekarang, mereka hampir menuju parkiran mobil.
"Tentu saja aku ingat. Itu pertama kalinya kita bertemu. Bahkan aku sengaja menumpahkan Jus itu ke laptopmu. Kalau tidak, kamu pasti tidak akan pernah mau melihat wajahku meskipun saat itu wajahmu menyeramkan saat marah."
Nafisah langsung berwajah masam. "Tapi gara-gara Mas, aku sempat tertunda melanjutkan revisi novelku! Ya walaupun pada akhirnya lolos seleksi di penerbit yang Mas punya. Oh iya, Kenapa naskah aku bisa tertunda sampai 2 tahun baru terbit? Apakah penulis lain juga begitu?"
"Sebagai pimpinan redaksi, aku sudah sepakat dengan tim untuk menunda menerbitkan karyamu. Bukan tanpa alasan, karena kami memang sedang slow untuk melakukan open PO. Kamu tahu sendiri sekarang, bisnis penerbitan kadang bisa pasang surut. Apalagi di jaman sekarang novel digital paling banyak di mininati dan bisa di akses dengan mudah. Makanya penjualan novel cetak tidak semua bisa berjalan dengan lancar. Bahkan sebagian ada yang di kembalikan ke gudang penerbit jika akhirnya penjualan novel-novel itu kurang bagus di toko buku."
"Lalu kalian apakan semua novel itu begitu sampai du gudang penerbit? Apakah jumlahnya banyak?"
"Lumayan, bisa ada yang tersisa sampai 200 ekslempar. Kalau penerbit besar biasanya ada pemusnahan buku. Tetapi karena penerbitku adalah penerbit standar, maka akan tetap kami jual dengan harga obral."
"Bagaimana jika novelku tidak ada yang beli?"
Adelard tersenyum. Ia bisa merasakan bagaimana kekhawatiran Nafisah. Akhirnya Adelard dan Nafisah sudah sampai tepat di samping mobil mereka. Bagas membukakan pintunya, lalu Adelard membantu Nafisah berdiri untuk masuk ke dalam mobil.
"Jangan overthinking kemana-mana dulu, sayang. Cerita kamu itu bagus. Nanti ada bagian tim marketing dan promosi yang akan bekerja keras untuk membantu promosi dan meningkatkan penjualan novelmu, tentunya sebagai penulis kamu juga harus ikut membantu promosi ke para pembaca. Terutama di akun sosial mediamu."
Nafisah mengangguk bertepatan saat Adelard langsung memasangkan sabuk pengaman padanya. Tak lupa juga Adelard mengelus pelan perut Nafisah.
"Nak, akhirnya kita pulang. Papa kangen banget sama kamu di dalam sini. Nanti kita manja-manjaan sambil Papa elus perut Mama ya,"
Nafisah sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Kalau begini caranya ia sanggup menjalani kehamilan sehat dan normal hingga lahiran. Bersama Adelard yang selalu ada di sampingnya.
****
Keadaan masih bersitegang setelah akhirnya Zulfa dan Marcello duduk saling bersebelahan meskipun masih menyisakan jarak. Sedangkan Kevin, pria itu sudah pergi sejak 15 menit yang lalu.
Di hadapan keduanya, ada Papi Zulfa dan istrinya. Terlihat sekali kekecewaan di mata orang tua Zulfa terutama Papinya.
"Saya akan bertanggung jawab dan menikahi Zulfa."
"Aku tidak mau!" protes Zulfa dengan nada suaranya yang tinggi.
Papi Zulfa emosi. "Kenapa kamu tidak mau, Zulfa?! Memangnya apa yang bisa kamu banggakan lagi dari diri kamu sendiri untuk pria manapun sementara dirimu sudah kehilangan kehormatan?!"
"Karena itu aku tidak ingin menikah dan menjalin hubungan dengan siapapun."
"Yakin seumur hidup kamu bisa sendirian sampai tua nanti?" lanjut Mami Zulfa dengan wajahnya yang sudah basah oleh air mata. "Mami dan Papi bisa pergi kapan saja, lalu bagaimana kamu bisa mengurusi hidup kamu sendiri di masa depan? Mungkin sekarang kamu merasa bisa karena masih muda, tetapi bagaimana ketika usiamu sudah tidak muda lagi?"
"Kok Mami bilang begitu? Pokoknya Zulfa yakin, Zulfa bisa urus hidup Zulfa-"
"Kalian harus menikah!"
"Papi, aku nggak mau!" Zulfa pun berdiri, merasa ingin menangis dan lari dari rasa sakit itu.
"Suka atau tidak, kalian harus tetap menikah. Jika kamu tetap bersikeras tidak mau menikah, maka jangan pernah anggap diriku ini Papimu!"
"A.. Apa?"
"Papi sudah terlanjur kecewa padamu, Zulfa." Papi Zulfa yang tadinya marah, perlahan terlihat rapuh. Hatinya hancur sehancur-hancurnya.
"Papi sudah gagal menjagamu dan mendidikmu. Ternyata dengan penampilan putri Papa yang selama ini sopan dan tertutup sepertinya tidak cukup untuk terhindar dari kemaksiatan."
"Ntah dosa apa yang sudah Mami dan Papi lakukan sehingga Allah memberi cobaan yang menyakitkan seperti ini." Akhirnya Mami Zulfa pun menunduk dan terisak.
Mendengar semua itu, Marcello merasakan hatinya hancur. Sadar kalau semua ini memang kesalahannya. Akhirnya Marcello tak tinggal diam.
"Terima kasih sudah mengizinkan kami untuk menikah. Saya akan tetap bertanggung jawab dan menikahi putri anda. Karena saya memang mencintainya sejak pandangan pertama. Maaf saya khilaf, sudah merusak kehormatan putri kalian. Zulfa tidak pernah salah, dia selalu menjaga jarak dan menghindari saya. Tetapi dari saya sendiri yang kurang ajar."
Tiba-tiba orang tua Zulfa pun berdiri. Zulfa pun akhirnya merasa panik saat itu juga karena belum mendapatkan maaf.
"Papi, Mami, maafkan Zulfa. Maafkan Zulfa yang sudah hina dan berdosa ini.."
"Kalau kamu ingin mendapatkan maaf dari kami, kamu harus menikah sama dia yang sudah merusakmu. Itu lebih baik!"
Marcello pun ikut berdiri. Tanpa diduga ia menyerahkan kartu Tanda kependudukan yang ia miliki dari dalam dompetnya.
"Ini jaminan kalau Bapak ragu dengan saya atau khawatir kalau saya kabur. Tiga hari lagi saya akan kembali untuk menikahi Zulfa. Saya akan memproses semua rencananya.."
***
Adelard dan Nafisah sudah berbaikan. Kira-kira apakah suatu saat Zulfa dsn Marcello bs baikan juga? Antara sedih, senang, campur aduk ya buat Marcello dan Zulfa π₯Ίπ
Makasih sudah baca. Jgn lupa nantikan chapter 20 insya Allah hari Kamis ya.
Kalian bisa follow akun instagram lia_rezaa_vahlefii untuk bisa mengeklik link chapter 20 melalui story instagram aku ya, Terima kasih.
With Love, Lia
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar