Chapter 36 : Kembali Membawa Luka Atau Harapan? - Hai, Assalamu'alaikum Readers

Minggu, 15 Oktober 2023

Chapter 36 : Kembali Membawa Luka Atau Harapan?

 


Flashback beberapa tahun silam


"Maafkan Ibu nak, maafkan Ibu.."



Zulfa memejamkan kedua matanya. Rasanya benar-benar menjadi satu. Sakit ketika melahirkan dan berjuang antara hidup dan mati. Serta kesedihan setelah bayi yang baru saja ia lahirkan tak kunjung merespon.



"Ya Allah, izinkan dia hidup.. Izinkan dia hidup." isak Nafisah di sela sela tangisannya.



Zulfa mendengar semua itu. Tapi hidupnya sudah berantakan dan salah sejak awal karena ia mau saja di bodohi dengan pria tampan yang baru saja di kenalnya dalam hitungan minggu. Siapa lagi kalau bukan Marcello.



"Zul.."


"Maafin aku Naf. Semua salah aku.." isak Zulfa dengan rasanya yang amat pedih.


Dokter pun akhirnya mendekati bayi kecil yang baru saja di lahirkan Zulfa. Wajahnya juga memperlihatkan kesedihan dan iba karena tidak bisa menyelamatkan bayi suci tak berdosa itu.


Zulfa pasrah atas semuanya. Bahkan ketika salah satu petugas medis mengambil alih bayi yang sudah pucat itu pun, Nafisah sendiri tidak bisa berbuat apapun selain menangisi keadaan.


Nafisah langsung berpindah tempat. Memeluk erat Zulfa yang masih terbaring lemah. Rasa bersalah terus menghantui Zulfa karena ia sudah gagal menjadi ibu dan melahirkan bayinya dalam keadaan meninggal.


"Naf, aku minta maaf."


Nafisah menatap Zulfa dengan  sendu. "Kenapa kamu berkata seperti itu? Ini bukan salah kamu."


"Tapi-"


Tiba-tiba suara tangisan bayi terdengar spontan. Dengan cepat Nafisah menoleh ke arah bayi yang baru saja hendak di tutupi oleh kain putih.


"Naf.."


"Zul.." ucap keduanya secara bersamaan. Sesaat, keduanya saling berpandangan satu sama lain. Seolah-olah dengan cara tatapan seperti itu saja, mereka saling berkontak 'Apakah ini benar? Aku nggak salah dengar kan bayinya menangis?'


"Alhamdulillah Ibu! Alhamdulillah, dedek bayinya merespon!" sela Dokter tadi tak percaya.


Tangisan bayi itu semakin kencang dan berhasil membuat Nafisah langsung mendekatinya. Dalam dekapan hangat, Nafisah membawa bayi mungil yang sudah terbungkus selimut hangat itu kepada Zulfa.


"Zul, ayo berikan dia asi."


"Aku tidak mau."


"Tapi, dia anakmu. Pemberian ASI pertama pada bayi yang baru saja di lahirkan itu penting."


Zulfa memalingkan wajahnya kesamping. Ntah kenapa hatinya masih terguncang dan belum menerima kenyataan yang ada.


"Zulfa.."


"Aku menyerahkanya padamu Nafisah."


Nafisah sampai menatap Zulfa dengan tatapan tidak percaya


"Apa?"


"Aku tidak menginginkannya. Kamu lebih pantas menjadi seorang Ibu ketimbang diriku."


"Zulfa, please,"


"Sejak dalam kandungan, aku berusaha menjatuhkannya. Apalagi disaat dia sudah lahir? Aku-"


"Jangan lanjutkan! Aku paham maksudmu." potong Nafisah cepat karena kesal dengan sikap Zulfa.


Nafisah langsung sigap dan menatap Zulfa dengan serius. Mendapati rekasi Nafisah seperti itu, Zulfa langsung terdiam. Kenyataannya memang seperti itu. Ia membenci Marcello. Secara tidak langsung ia juga jauh lebih membenci anak yang berasal dari pria itu.


"Kalau begitu aku akan mengadopsinya dan menganggapknya seperti putraku sendiri mulai sekarang.." ucap Nafisah akhirnya..


Zulfa tetap diam karena sedikit terkejut dengan lontaran Nafisah yang kali ini sedang tidak main-main.


"Kamu tahu sendiri, aku sempat keguguran setelah Adelard masuk penjara. Aku gagal mengelola stressku dengan baik karena aku berada di fase yang sulit. Aku menginginkan buah hati sejak dulu. Apakah kamu bersedia jika aku menjadi ibunya?"


"Itu lebih baik. Karena sejak awal aku tidak menginginkannya. Daripada aku menyerahkannya ke panti asuhan.. "


"Kamu yakin?"


Zulfa tak lagi menjawab pertanyaan Nafisah. Semua itu terjeda ketika beberapa tim medis mulai memeriksa dan mengecek semua kondisi Zulfa pasca melahirkan.


"Permisi, maaf Ibu, kita periksa dulu keadaannya ya."



"Flashback off

****


Hal yang pertama kali Nafisah rasakan adalah aroma obat-obatan yang begitu kuat di penciuman. Samar-samar suara alat medis sebagai penunjang kehidupan pasien juga ikut terdengar yang ada di kanan kirinya. Meskipun dirinya hanya terpasang jarum infus, semua itu sanggup membuat semua tubuhnya terasa sakit.


"Mas.. "


"Sayang jangan terlalu banyak bergerak."


Dengan sigap Adelard langsung mendekati Nafisah. Perlahan, pria tampan itu membantu Nafisah duduk bersandar dengan posisi senyaman mungkin. Sesekali Nafisah mengernyit pelan. Perutnya yang semakin membuncit di kehamilan 7 bulan juga membuatnya serasa begah.


"Mas, aku, " Jeda sesaat, Nafisah benar-benar masih syok dan sulit melanjutkan ucapannya.


"Maafkan aku. Sekali lagi aku minta maaf. Aku lalai jagain kamu."


Adelard memeluk Nafisah dengan lembut. Mengusap pelan punggung istrinya yang bergetar karena akhirnya istrinya itu mulai terisak pelan.


"Seharusnya aku tidak cemburu buta dengan Marcello. Sampai akhirnya aku pergi meninggalkanmu dan membuatmu bahaya di dalam rumah." ucap Adelard penuh penyesalan.


"Maafkan aku."


Nafisah mendongak dan langsung tersadar oleh suatu hal yang penting.


"Rafa.. Rafa bagaimana? Dia baik-baik aja kan?"


Adelard menunjukkan keraguan di wajahnya. "Rafa.."


"Mas?"


Keduanya hanya mampu terdiam dan saling berpandangan satu sama lain. Sementara Adelard sendiri bingung harus memulai dari mana untuk menjelaskan masalah yang sebenarnya kalau saat ini Rafa hilang ntah kemana.


Beberapa jam yang lalu Adelard terkejut karena mendapati rumahnya dalam keadaan listrik mati total dan itu hanya terjadi di rumahnya. Sementara pintu rumah terbuka lebar dan ia menemukan Nafisah pingsan. Apalagi dalam keadaan kosong dan tidak ada siapapun termasuk Rafa dan pengasuhnya.

Nafisah panik. "Ini gawat.. Ini gawat! Jangan sampai Rafa kenapa-kenapa!"


"Nafisah apa yang kamu lakukan?"


Nafisah berhasil turun dari tempat tidur. Dalam keadaan nekat mengangkat tiang infus sambil berjalan menembus tirai pembatas pasien UGD.


"Aku yakin, terjadi sesuatu sama Rafa! Dia.. Dia.. Pengasuh itu membawanya! Dia orang jahat Mas! Dia jahat! Bahkan-"


"Nafisah tenanglah..


"Naf.."


Adelard berusaha mempercepat langkahnya untuk mendekati Nafisah dan berhasil menyamakan posisinya. Sampai akhirnya perawat pun membantu menengahi situasi.


"Maaf Ibu Nafisah, ibu harus kembali ke tempat tidur ya. Kondisi Ibu masih lemah."


Nafisah menggeleng cepat. Saat ini pikirannya terpusat sama putra tercintanya.


"Nggak, aku nggak bisa. Rafa.. Dia.. Dia dalam masalah. Mas, kita harus segera mencari Rafa! Cepat!"


"Sshh, Naf, please.."


Dengan sabar Adelard memegang kedua bahu Nafisah dan menatapnya lembut. "Kita akan cari sama-sama. Tapi aku minta tolong kamu harus rehat dulu sampai benar-benar pulih. Oke?"


"Tapi Mas-"


"Kalau mau cari Rafa harus butuh tenaga kan?"


Mau tidak mau Adelard mengatakan hal itu. Padahal sebenarnya ia berkeinginan mengurus semuanya tanpa harus melibatkan istrinya karena terlalu beresiko. Hingga seiring berjalannya waktu, akhirnya Nafisah mengalah dan mulai mengerti.


"Ayo kita kembali ke tempat kamu. 15 menit lagi kamu akan di pindahkan ke ruang rawat inap."


"Kenapa aku harus di opname? Aku baik-baik aja."


"Kata Dokternya, kandungan kamu lagi beresiko. Kamu harus istirahat total dan jangan sampai stress. Bisa bahaya Naf. Aku tidak ingin kamu dan calon anak kita kenapa-kenapa."


Sesaat, Nafisah merasa aman setelah mendengar semua ucapan Adelard. Dulu, Nafisah tidak mendapatkan semua ucapan manis ini saat hamil anak pertama karena kita tahu sendiri bagaimana sikon masa lalunya.


"Mas, janji sama aku. Jangan lagi tinggalin aku."


"Aku janji. Aku akan terus ada di samping kamu."


Perlahan, tirai pembatas terbuka. Zulfa datang dengan raut wajahnya yang khawatir dan langsung memeluk Nafisah dengan erat.


"Naf, kamu gimana? Kamu enggak kenapa-kenapa kan?" Zulfa pun mengusap pelan perut Nafisah.


"Aku baik-baik aja, sekarang aku lagi khawatir dengan Rafa."


Sesaat, keduanya saling berpandangan satu sama lain. Ntah kenapa tanpa sengaja kedua mata Zulfa berkaca-kaca. Menyadari hal itu, Nafisah langsung memeluk Zulfa.


"Maafin aku.. " bisik Nafisah pelan.


Detik itu juga Adelard pun memilih menjauh dan memberi waktu pada kedua sahabat ini yang saling menumpahkan kesedihan.


Zulfa pun mengangguk pelan. "Kalau sampai terjadi apa-apa sama Rafa. Aku nggak akan bisa memaafkan diri aku sendiri. Sejak dia di lahirkan, hidupnya benar-benar menderita dan aku menyesali hal itu."


"Bagaimana perasaanmu tentang Rafa sekarang?"


Perlahan, Zulfa melepaskan pelukannnya pada Nafisah.


"Aku mulai mencintai dia Naf. Cinta dan kasih sayang seorang Ibu. Aku hanya bisa berharap kalau semuanya akan baik-baik saja dan masih ada kesempatan buat aku sebelum penyesalan itu datang."


"Akhirnya... " Nafisah tersenyum dengan perasaan haru bersamaan dengan air matanya yang menetes. "Biar bagaimana pun, kamu adalah Ibu kandungnya. Kasih sayang dan cinta untuknya selalu ada sepanjang masa."


"Naf.."


"Hm?"


"Aku.. "


"Kenapa?"


"Apakah salah kalau aku mulai mencintai orang yang pernah melukai hatiku di masalalu?"


*****


Sudah sebulanan gak up. Maaf ya karena kesibukan yang benar-benar sulit buat ngondisikan antara menulis dengan real life.


Tapi aku tetap usahaain sejak dulu kok buat selesaikan sampai tamat.


Insya Allah mudahan lancar ya..


seperti biasa, jgn lupa nantikan chapter 37 melalui link story Instagram lia_rezaa_vahlefii.


Jgn lupa follow yaaa.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar