Chapter 53 : Menghindar - LiaRezaVahlefi

Masya Allah Alhamdullilah - Kumpulan lanjutan episode cerita di wattpad dan platfrome kepenulisan serta artikel umum Happy Reading :)

Minggu, 21 September 2025

Chapter 53 : Menghindar



 Langkah Marcello terdengar pelan menyusuri lorong hotel yang sepi. Hanya suara langkah kakinya yang bergema, berat dan penuh tekanan. Matanya sembab, wajahnya kusam, namun ada satu cahaya yang mulai menyala di matanya—cahaya harapan yang nyaris padam selama ini.

Rafa telah ditemukan.

Anak itu—darah dagingnya, hidupnya—akhirnya kembali. Bukan karena kerja aparat, bukan karena kekuatan uang, tapi karena sesuatu yang tak pernah ia duga: pengkhianatan dari salah satu bawahan Valeria.

Seseorang diam-diam membawa Rafa keluar dari tempat persembunyian, dan mengantarkannya langsung ke pelukan Eloisa—ibu Marcello yang selama ini hanya bisa mendoakan dari jauh.

Marcello mendorong pintu kamar suite perlahan. Di dalam, ia menemukan pemandangan yang membuat seluruh tubuhnya terpaku.

Rafa tertidur di sofa, kepalanya bersandar di pangkuan Eloisa. Rambut ikalnya yang kusut masih basah, mungkin baru dimandikan. Napasnya teratur, damai—sesuatu yang tak pernah bisa dibeli oleh dunia yang kejam.

Eloisa menoleh, matanya yang berkaca-kaca langsung menatap putranya.

"Dia nggak berhenti manggil namamu sebelum tertidur," bisiknya, mengelus kepala Rafa lembut. "Tapi sekarang dia tenang. Dia di tempat yang seharusnya."

Marcello menelan air liur, tenggorokannya tercekat. Ia melangkah pelan, lalu berjongkok di samping sofa, menatap putranya yang terlelap.

"Maaf, Nak..." gumamnya pelan. "Ayah terlalu sibuk melindungi semua orang... sampai lupa, kamu yang paling butuh dilindungi."

Suasana hening. Hanya suara napas Rafa dan detik jam dinding.

Tapi di tengah momen haru itu, benak Marcello tak bisa benar-benar damai. Ada satu nama yang terus berputar dalam pikirannya—Zulfa.

Gadis itu menghilang. Tanpa kabar. Tanpa jejak. Sejak peristiwa itu, sejak semuanya terbongkar, sejak darah mengotori kebenaran.

Zulfa, kau di mana?

Marcello menggenggam tangan Rafa pelan, seolah mencari pegangan untuk pikirannya yang hampir karam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya.

Ia berhasil mendapatkan anaknya kembali. Tapi di saat yang sama, kehilangan perempuan yang ia cintai... tanpa sempat menjelaskan apa pun. Tanpa sempat memastikan apakah perasaannya benar-benar sampai.

Harusnya aku bisa melindungi kalian berdua. Bukan memilih satu dan kehilangan yang lain.

Matanya menatap kosong ke arah jendela. Cahaya malam kota menyala dari kejauhan, tapi dalam dirinya hanya gelap yang tersisa. Gelap yang bernama rindu.

Dan di tengah kemenangan yang seharusnya ia rayakan, Marcello justru duduk dalam diam, ditemani sunyi dan luka yang belum sembuh.

Karena ia tahu, menemukan Rafa hanyalah awal dari satu akhir.

Dan mungkin... Zulfa takkan pernah kembali.

❤️❤️

Zulfa tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di lantai ini.
Punggungnya bersandar pada tembok dingin, jendela tertutup rapat, dan lampu kamar kusam menyala seolah enggan menyinari siapa pun yang tinggal di sini. Mungkin karena ruangan ini terlalu penuh dengan bayangan dan rasa bersalah.

Nafisah...

Wajahnya masih membekas jelas di kepalanya. Tatapan cemburunya. Langkah tergesa saat keluar dari restoran hari itu. Luka di matanya— Zulfa mengenalnya. Luka itu pernah ia bawa, bertahun-tahun lalu. Dan sekarang... ia yang membuat orang lain memilikinya.

Bahkan kalau Zulfa tidak mengatakannya secara langsung...
Bukankah diamnya juga bentuk pengkhianatan?

"Bukankah keputusanku untuk membiarkan semuanya mengalir seperti ini—menjauh, bersembunyi, dan pura-pura kuat—adalah bentuk kelalaian yang melukai lebih banyak orang?

Air mata Zulfa sudah habis, tapi dadanya masih terasa sesak.

Lalu ada Marcello.

Pria yang awalnya ia tolak. ia tentang, benci, karena keberadaannya mengacaukan dunianya. Tapi, justru dia yang mampu menembus dinding rapuhnya. Dia membuat Zulfa percaya kalau dia bisa dicintai tanpa syarat.

Tapi kenapa...

"Kenapa saat aku mulai percaya, saat hatiku mulai memeluk rasa yang kupendam..."

"Dia justru bersama wanita lain? bahkan dengan jelas aku mendengar bagaimana wanita itu sedang mengandung anak dari Marcello. Tapi apakah semua yang aku dengar sudah jelas dan benar?"

Zulfa yakin, saat malam itu ia tidak salah dengar.

"Aku terlalu takut untuk menanyakan kebenarannya. Karena aku tahu... aku tak siap mendengar jawabannya."

Mungkinah ini seperti sebuah karma?
Mungkin Zulfa pantas merasa seperti ini—tersisa, tercecer, dan kehilangan semua yang bahkan belum sempat kugenggam.

Dan kini Zulfa duduk sendiri, tanpa siapa pun.

Tak ada Nafisah. Tak ada Rafa. Tak ada Adelard. Tak ada Marcello.

Hanya Zulfa, dan ribuan suara dalam kepalanya yang terus mengulang:
"Kukira kau tempat, ternyata luka."

Tiba-tiba Zulfa merasa perutnya keroncongan. Sudah berhari-hari ia menginginkan cemilan yang belum sempat ia beli karena terlalu sibuk merenung dan terluka. Menyepi dari dunia, dari semua yang membuat dadanya terasa penuh dan kepalanya berisik. Tapi malam ini, Zulfa menyerah. Bukan pada rasa sakit, tapi pada rasa lapar yang tak bisa diajak kompromi.

Pada akhirnya Zulfa keluar rumah, sebuah penginapan tempat dimana ia menyendiri dan menghindar dari Marceloo.

Langkahnya pelan menyusuri trotoar sempit. Jaket oversize menutupi tubuhnya, masker menutupi sebagian wajahnya.

Zulfa berharap cukup samar untuk tak dikenali siapa pun. Langit malam kelabu. Minimarket kecil di ujung jalan menyambutnya dengan lampu terang yang entah kenapa terasa terlalu jujur—terlalu terang untuk seseorang yang ingin bersembunyi.

Zulfa pun mengambil beberapa bungkus cemilan, cokelat, dan minuman. Tak ada gairah untuk makan, tapi ia  butuh alasan untuk merasa hidup. Sesuatu yang bisa mengisi ruang kosong selain pikiran tentang dia.

Begitu keluar dari pintu minimarket, angin malam menerpa wajahnya. Zulfa menarik napas dalam, mencoba membiarkan dingin itu sedikit menyadarkannya

Tapi kemudian, Sebuah mobil hitam berhenti mendadak di depan minimarket. Degup jantung langsung berubah ritmenya karena mengenali mobil itu.

Pintunya terbuka cepat.
Dan dari dalamnya, Marcello keluar.

Waktu seolah berhenti.

Zulfa berdiri terpaku. Mata keduanya bertemu, walau hanya sesaat. Tapi cukup untuk membuatnya panik.

Mata Marcello memaku langkahnya. Wajahnya menyiratkan sesuatu—terkejut, bingung, mungkin juga marah. Tapi Zulfa tak mau tahu. Zulfa tak ingin tahu.

Pada akhirnya Zulfa pun memilih untuk berlari. Langkahnya cepat, hampir tersandung, napasnya memburu, tapi ia tak berani menoleh ke belakang. Karena ia tahu, jika ia melihat wajah itu lagi... Zulfa bisa runtuh. Bisa jatuh kembali ke jurang yang susah payah kutinggalkan.

"Jangan kejar aku... jangan sekarang...
Aku belum cukup kuat untuk memilih tetap atau pergi."

Dan di tengah dinginnya malam, suara hatinya berbisik lirih:

"Tolong... biarkan aku sembunyi sedikit lebih lama lagi."

❤❤❤

Halo, aku kembali up. Makasih sudah baca.

Bagaimana perasaan kalian saat ini setelah membaca narasi Zulfa dan Marcello di atas?

Sehat selalu ya.
With love ❤ Lia

Instagram : lia_rezaa_vahlefii


Next Chapter 53. Klik link di bawah ini :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar