Chapter 52 : Tatapan Yang Tak Lagi Sama - LiaRezaVahlefi

Masya Allah Alhamdullilah - Kumpulan lanjutan episode cerita di wattpad dan platfrome kepenulisan serta artikel umum Happy Reading :)

Minggu, 21 September 2025

Chapter 52 : Tatapan Yang Tak Lagi Sama



 Adelard dan Ciara sama-sama terkejut. Mata mereka membulat, sementara si pelayan kebingungan melihat ekspresi itu.

"Maaf, tapi saya tidak—" Adelard membuka mulut, hendak mengklarifikasi.

Namun Ciara sudah tertawa kecil, walau jelas wajahnya memerah. "Sepertinya ada kesalahan."

Pelayan itu langsung memeriksa kembali notanya, lalu menepuk dahinya. "Aduh! Maaf sekali, ini seharusnya untuk meja sebelah, Bapak Iqbal dan Nona Manda. Saya salah baca..."

Obrolan pun mengalir. Ciara dengan gaya hangat dan terbuka, Adelard menjawab seperlunya tapi tak segan tersenyum samar di sela-sela. Di mata orang lain, mereka terlihat seperti pasangan lama yang sedang menikmati sore dengan nostalgia.

Tawa kecil Ciara memenuhi meja ketika Adelard sesekali berbincang lucu. 

Di sisi lain ruangan, Nafisah menatap mereka dari jauh—duduk bersama Zulfa, tapi hatinya seolah ditusuk. Wajahnya mengeras, matanya tak bisa lepas dari ekspresi santai Adelard yang tampak... bahagia. Tanpa dirinya.

Namun tiba-tiba tanpa sengaja Adelard melihat Nafisah. Sudah hampir sebulan mereka renggang dan tidak seatap. Dengan jelas Adelard melihat perut Nafisah yang sudah membesar karena ia juga tahu kehamilan Nafisah saat ini menginjak 8 bulan.

Saat mata mereka bertemu, hanya sejenak, Nafisah berharap ada sedikit reaksi. Tapi Adelard tetap tenang. Tak ada keterkejutan. Tak ada amarah. Tak ada rindu. Hanya kekosongan. Bahkan ketika Nafisah berdiri dan melangkah pergi tanpa sepatah kata, ia tak bergeming.

Zulfa sempat menoleh, tapi Adelard tidak. Hatinya telah beku. Luka yang ditinggalkan Nafisah terlalu dalam. Kebohongan itu masih membekas.

"Biarkan saja dia pergi. Wanita seperti itu tak pantas aku kejar lagi." sela Adelard dalam hati.

Bahkan momen itu tak bisa menggoyahkan pikirannya—karena pikirannya sudah mati rasa, terutama jika itu tentang Nafisah.

Dan di meja itu, Adelard kembali mengangkat cangkir kopinya, menatap cairan hitam itu, lalu berkata pelan pada Ciara,

"Pahit, ya."

Ciara mengira ia bicara soal kopi.

Tapi hanya Adelard yang tahu: yang benar-benar pahit adalah kepercayaan yang dikhianati.

🩷❤️❤️

Langkah Nafisah meninggalkan lantai restoran terasa berat, meski sepatu hak rendah yang ia kenakan nyaris tak bersuara di ubin marmer yang mengilap. Setiap gerak tubuhnya terjaga rapi—tegak, terkontrol, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi di balik sorot matanya yang menatap lurus ke depan, ada badai yang tak henti mengamuk.

Udara sore yang menerpa wajahnya saat pintu restoran terbuka pun tak mampu mendinginkan panas yang membakar dadanya. Bukan karena marah. Tapi karena luka. Luka yang diam-diam kembali menganga.

Dia sudah tahu risikonya ketika memutuskan untuk datang. Tapi ia tak pernah siap untuk melihatnya, Adelard. Duduk di sana, tertawa ringan, bersama perempuan lain. Dengan ekspresi yang dulu hanya dimilikinya. Dengan ketenangan yang dulu hanya ia tahu cara menyentuhnya.

Dan saat mata mereka bertemu...

Itu bukan pertemuan dua orang yang pernah saling mencintai.

Itu hanyalah tatapan kosong seorang laki-laki yang sudah selesai mencintai, bahkan mungkin... sudah mulai membenci.

Nafisah menarik napas panjang. Tidak bergetar. Tidak menangis. Tidak saat ini. Ia tidak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Bukan di tempat ini. Bukan di hadapan Zulfa. Bukan di depan laki-laki yang sudah lebih dulu membekukan hatinya.

Ia terus melangkah ke parkiran. Tangannya mengerat di sisi tasnya, seperti memegang sisa-sisa harga diri yang hampir runtuh. Dada terasa sesak, tapi tak ada yang bisa dia lepaskan. Bahkan air mata pun seperti menolak jatuh, seolah tahu: kau harus kuat, Nafisah. Meski hanya pura-pura.

Ketika ia akhirnya mencapai mobil, ia berhenti sejenak. Menutup mata. Menahan napas. Menggigit bibir sendiri agar tak bergetar.

Karena hari ini, kenyataan menamparnya lebih keras dari sebelumnya:

Terkadang, yang menyakitkan bukan hanya kehilangan seseorang.

Tapi ketika seseorang itu masih hidup, masih dekat... dan memilih untuk tak peduli lagi.

Dan dia memilih untuk tidak mengejarnya.

Karena ia sudah cukup berjuang.

Dan sekarang... saatnya berhenti.

❤️❤️❤️

Mobil terparkir di bawah bayangan pohon di sudut parkiran. Nafisah duduk di kursi penumpang, menatap lurus ke depan. Lampu senja memantul di kaca depan, membiaskan warna jingga yang menyayat.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Hanya suara mesin mobil yang menderu pelan. Zulfa tak langsung bicara. Ia tahu, Nafisah butuh waktu untuk menyusun kepingan-kepingan hatinya yang baru saja remuk kembali.

"Naf," panggilnya pelan, suara selembut mungkin. "Kamu nggak apa-apa?"

Nafisah masih diam. Lalu akhirnya menggeleng pelan. "Enggak, Zul. Aku... gak apa-apa." Tapi suaranya bergetar, bertentangan dengan kata-katanya.

Zulfa menatapnya. "Kamu nggak harus pura-pura kuat di depan aku, Naf."

Perlahan, Nafisah menunduk. Matanya mulai memerah, dan akhirnya satu tetes air mata jatuh, diam-diam. Disusul yang lain, meski ia berusaha menyekanya cepat-cepat.

"Aku tahu aku salah, Zul... Aku yang bohong, aku yang hancurin semuanya... Tapi lihat tadi, cara dia mandang aku... kayak aku orang asing. Bahkan bukan orang asing. Kayak aku gak ada."

Zulfa menghela napas panjang, menahan perih yang ikut terasa melihat sahabatnya seperti ini.

"Adelard itu terluka, Naf. Dia ngerasa dihianati. Tapi aku yakin, jauh di dalam hatinya... masih ada kamu."

Nafisah menggeleng lagi. Kali ini lebih keras.

"Enggak, Zul. Dia benci aku. Aku lihat itu di matanya. Dingin. Kosong. Kayak semua yang pernah kita punya... gak berarti apa-apa lagi."

Ia menatap jendela, matanya basah, tapi wajahnya mencoba tegar.

"Aku gak nyalahin dia. Mungkin aku emang pantas dapet tatapan itu."

Zulfa menggenggam tangan Nafisah, erat.

"Kamu pernah salah, iya. Tapi bukan berarti kamu pantas dilupakan. Kamu tetap punya hak buat diperjuangkan, asal kamu juga mau berubah."

Nafisah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.

"Aku gak pengen dia balik karena kasihan, Zul. Kalau dia beneran udah gak peduli... aku harus belajar berhenti."

Zulfa mengangguk perlahan, menahan emosi yang ikut teraduk.

"Oke. Tapi jangan berhenti sayang sama dirimu sendiri. Jangan sampai luka dari dia bikin kamu ngerasa gak layak dicintai siapa pun."

Nafisah menatap Zulfa lama. Air mata masih menggantung di ujung matanya, tapi kali ini ada sedikit kekuatan yang mulai tumbuh di balik luka itu.

"Makasih, Zul... Kamu satu-satunya tempat aku bisa jatuh tanpa takut dihakimi."

Zulfa tersenyum hangat. "Dan kamu bisa jatuh berkali-kali, Naf. Aku tetap bakal jadi orang yang nolongin kamu bangkit."

Mereka kembali terdiam. Tapi bukan diam yang kosong. Diam yang perlahan membangun kembali kekuatan dari reruntuhan.

Di luar, matahari mulai tenggelam. Dan di dalam mobil itu, meski hati Nafisah masih perih, tapi setidaknya... ia tahu ia tak sendiri.

❤️❤️❤️

Bayangin saat itu Zulfa tidak di samping Nafisah 😣

Hallo makasih sudah baca. Sehat selalu yaa..

Sampai ketemu di hari minggu malam pukul 20:00

With love ❤ lia
Instagram: lia_rezaa_vahlefii


Next Chapter 53. Klik link di bawah ini :

https://www.liarezavahlefi.com/2025/09/chapter-53-menghindar.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar