Valeria mengumpat pelan. Darah masih menetes dari kakinya, tapi yang paling menyakitkan bukanlah luka fisik itu, melainkan luka di dalam dadanya yang mendidih oleh kemarahan. Valeria benci dengan keadaan sekarang, tangan yang masih terbalut perban.
"Zulfa... wanita itu. Bahkan peluru pun tak cukup untuk menyingkirkannya dari hidupku."
Valeria menatap kosong ke dinding kamar rawatnya, matanya nyalang menahan dendam. Suara-suara di luar ruangan tak lagi terdengar jelas; hanya satu yang berputar dalam pikirannya—Marcello. Lelaki yang seharusnya menjadi miliknya. Lelaki yang sudah dijanjikan padanya.
"Aku tidak akan membiarkan semuanya berakhir seperti ini," gumamnya lirih, namun penuh racun. "Kalau aku harus membakar semuanya... maka aku akan menyalakan apinya sendiri."
Pikirannya berputar cepat. Ia tahu apa yang dilihat Zulfa malam itu. Ia tahu kebohongan tentang kehamilan palsunya telah sampai di telinga wanita itu. Tapi itu belum cukup. Ia harus memastikan Zulfa hancur. Ia harus membuat Marcello membenci wanita itu.
Dan Rafa... anak itu masih jadi kartu terkuatnya.
Valeria menyeringai tipis, meski wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar kesakitan. "Anakmu akan memanggilku ibu, Zulfa... Atau kau akan benar-benar kehilangan segalanya."
💞💞💞💞
Restoran itu tidak terlalu ramai sore ini. Nafisah duduk di seberang Zulfa, sambil membuka daftar menu dan menyeringai kecil.
"Lama-lama kamu bisa jadi teman makan favoritku, Zul," celetuk Nafisah, menggoda. "Soalnya kamu nggak pernah nolak traktiran."
Zulfa hanya tersenyum tipis. "Aku lapar, bukan matre. Toh aku kesini karena menemani dirimu yang sedang mengidam sepiring spageti kan?"
Mereka tertawa kecil. Aroma sup yang baru disajikan dari meja sebelah membuat Zulfa refleks menoleh. Tapi senyumnya langsung menghilang, digantikan dengan keterkejutan. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Nafisah dan berbisik, pelan namun tajam.
"Naf... itu Adelard, kan?"
Nafisah yang sedang menuangkan air mineral berhenti sejenak. Matanya mengikuti arah pandang Zulfa—dan benar saja, di salah satu sudut ruangan, duduk sosok yang tak asing: Adelard. Sendiri. Terlihat tenang dengan kemeja putihnya, sesekali menyeruput kopi.
Nafisah langsung memalingkan wajah. Hatinya berdesir, entah karena rindu yang mendadak muncul, atau luka yang belum sembuh. Ia berusaha tetap fokus ke piringnya.
Zulfa menatapnya, seolah bertanya: "Mau nyamperin enggak?"
Tapi sebelum Nafisah sempat bereaksi, datang seseorang menghampiri meja Adelard. Seorang perempuan, dengan khimarnya dan memakai gamis berwarna pastel. Wajahnya tak asing bagi Zulfa. Dia adalah Ciara.
"Mungkin mereka janjian?" gumam Nafisah. Berusaha tak memperdulikan hati dan perasaannya yang campur aduk.
Di sisi lain, Adelard dan Ciara terlihat canggung saat bertegur sapa, tampaknya mereka hanya bertemu secara kebetulan. Tapi entah mengapa, Adelard malah tersenyum dan menunjuk kursi di depannya, mengajak Ciara untuk bergabung. Ciara pun duduk, awalnya ragu, lalu tampak mulai nyaman berbincang.
Zulfa mencengkeram garpu di tangannya. Merasa kesal dan gemas karena Nafisah hanya diam tanpa bereaksi apapun melihat suaminya sedang makan bersama perempuan lain. Nafisah melirik, lalu mencoba menenangkan.
"Zul... jangan mikir yang aneh-aneh. Mereka kan bisa aja cuma ngobrol."
"Aku tahu kamu cemburu. Iya kan? Kamu harus-"
Namun seketika suasana menjadi janggal.
Seorang pelayan datang mendekati meja mereka—bukan ke Zulfa dan Nafisah, tapi ke meja Adelard dan Ciara. Dengan senyum manis dan nada formal, pelayan itu menyerahkan sekuntum mawar merah yang sudah dibungkus rapi, lengkap dengan pita kecil dan kartu ucapan. Nafisah Dan Zulfa dengan jelas melihat pelayan itu memberi bunga ke arah Ciara seperti sebuah kejutan.
"Untuk Nona," ujar pelayan itu.
Situasi mendadak canggung. Bahkan dari meja mereka, Zulfa bisa melihat wajah Adelard yang menegang. Ia menatap bunga itu, lalu menatap Ciara, dan akhirnya tertawa kecil untuk mencairkan suasana.
Sementara itu, Zulfa hanya menunduk. Nafasnya tercekat.
"Lucu ya... dunia sekecil ini," gumam Nafisah, lirih. Tapi Nafisah tahu, yang sesak bukan karena kendaraan yang macet diluar sana. Tapi karena hatinya sedang benar-benar tidak tahu, apakah ia masih punya tempat di dunia Adelard—atau sudah tak sengaja digantikan.
❤❤❤
MasyaallahAlhamdullilah. Halo, aku kembali update. Terima kasih buat kamu yg masih berkenan mau menunggu dan membaca cerita ini..
Luvv ❤
Jangan lupa vote dan komentarnya
With Love, Lia
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Next chapter 51. Klik link di bawah ini :
https://www.liarezavahlefi.com/2025/09/chapter-52-tatapan-yang-tak-lagi-sama.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar