Jaket tipis tak cukup melindungi tubuhnya dari dingin malam, tapi tekad dalam dadanya lebih panas dari badai. Pikiran Adelrad penuh dengan satu tujuan—mencari kebenaran yang tersembunyi.
Langkah kakinya berhenti di depan sebuah bangunan bercahaya temaram, cafe sepi pengunjung. Tempat yang biasa tenang, kini menjadi titik awal ke arah jawaban.
Tanpa banyak basa-basi, Adelard membuka pintu. Bel berdenting pelan. Ciara yang sedang menyeruput kopinya agak terkejut melihat wajah lelah dan mata dalam yang tajam menatapnya.
"Adelard? Malam-malam begini kau mengajakku bertemu. Ada apa?"
Adelard menghampiri, membiarkan hujan menetes dari ujung jaketnya. Ia tak langsung bicara. Hanya menatap Ciara lama, seolah ingin memastikan bahwa wanita ini masih bisa ia percaya.
Adelard berucap pelan, tapi tegas.
"Aku butuh bantuanmu."
Ciara mengernyit. "Bantuan soal apa?"
Adelard mendesah. Ia berjalan mendekat, menatap ke arah jendela yang basah oleh hujan.
"Valeria. Marcello. Dan... Nafisah. Ada sesuatu yang tak beres. Aku merasa selama ini ada yang disembunyikan. Tentang Rafa... tentang masa lalu mereka."
Ciara terdiam. Suasana berubah sunyi. Ia tahu ini bukan sekadar kecurigaan cemburu biasa. Nada suara Adelard terlalu serius.
"Kau yakin ingin masuk ke dalam urusan mereka? Ini bisa berbahaya. Apalagi kalau melibatkan Stephano..." Ciara berusaha mengingatkannya dengan hati-hati.
"Karena itulah aku datang ke kamu. Aku tahu kamu bisa di andalkan. Kamu bisa cari tahu lebih dari sekadar yang terlihat di permukaan, Ciara."
"Lalu?"
"Orang yang terluka tak pernah lupa siapa yang pernah menyembuhkan mereka. Atau siapa yang pernah menyelamatkan rahasia mereka."
Ciara terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. Ia menatap Adelard, lalu mengangguk perlahan.
"Baiklah. Kita mulai dari mana?"
"Cari tahu... sejak kapan Valeria benar-benar dekat dengan Marcello. Dan tentang kehamilan yang katanya milik Marcello. Aku yakin itu bagian dari kebohongan yang lebih besar. Dan soal Nafisah... aku tak yakin dia bersalah. Tapi aku ingin tahu, kenapa dia menyerahkan Rafa. Apa yang ia tutupi?"
Ciara mencatat dalam pikirannya, lalu meraih tas dan jas hujan.
"Aku akan cari dari sisi Valeria dan Marcello. Kamu... dekati Nafisah. Mungkin sudah waktunya kau tanya langsung... tapi dengan hati, bukan dengan tuduhan."
Adelard mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya dalam minggu-minggu terakhir, matanya terlihat yakin.
"Kita akan buka semua kebohongan ini... sebelum ada lagi yang terluka karena kesalahan yang sama." ucapnya lirih.
❤️❤️❤️
Zulfa menggenggam tangan Nafisah, erat. Tidak ada kata-kata di antara mereka sepanjang perjalanan—hanya napas berat yang menahan ribuan emosi yang tak terucap.
Dengan langkah gontai, mereka melangkah ke lobi, menatap lantai atas yang terasa jauh—bukan karena tinggi, tapi karena jarak batin yang semakin dalam. Tak ada izin resmi. Tak ada perintah dari siapa pun. Hanya kerinduan sebagai ibu, yang tak bisa ditahan lagi.
Lift terbuka. Nafas Zulfa tercekat saat pintu penthouse terbuka. Eloisa berdiri di depan mereka, matanya membelalak, tak percaya kedua wanita itu berdiri di ambang pintunya.
Eloisa berucap tegas, tapi gemetar.
"Kalian... tak seharusnya ada di sini. Stephano—"
"Aku hanya ingin melihat anakku. Untuk terakhir kalinya." Nafisah memohon pelan, namun tegas
"Kami tak akan lama." sela Zulfa. "Kami tak membawa perang. Hanya... rindu yang terlalu dalam untuk disangkal."
Eloisa menahan napas. Di hatinya, masih ada ruang kecil untuk iba—meskipun dibungkam oleh ketakutan akan kekuasaan Stephano. Ia menunduk sejenak, lalu melangkah mundur tanpa berkata lagi.
Rafa sedang duduk di ruang tengah, berselimut, matanya sayu tapi penuh cahaya kecil saat ia menoleh dan melihat dua wajah yang tak pernah ia lupakan.
Rafa lirih "Mama..." ucapnya ke arah Nafisah.
Dalam sekejap, Zulfa dan Nafisah berlari kecil menghampiri bocah itu. Zulfa memeluk Rafa erat-erat, menggigil, seolah tubuh mungil itu adalah satu-satunya alasan ia tetap hidup. Nafisah ikut merunduk, membelai rambut Rafa dengan tangan yang gemetar.
"Maafkan Mama, Nak... Mama terlambat datang." Zulfa berbisik dalam hati, air matanya jatuh di pipi Rafa.
"Kau tetap anak kami. Selamanya." air mata menetes di pipi Nafisah
Rafa tak banyak bicara. Tapi dari pelukannya, dari cara ia membenamkan wajah di dada Zulfa—ia tahu, ini lebih dari sekadar pertemuan. Ini adalah pelukan yang menyimpan ratusan hari rindu, yang selama ini hanya bisa ia tanyakan dalam mimpi.
Eloisa berdiri di kejauhan, terdiam. Matanya mulai berkaca, namun ia tetap membeku. Ia tahu, detik-detik ini tak bisa ia ganggu. Bahkan kekuasaan Stephano tak bisa membatalkan kasih seorang ibu.
Lalu, suara langkah pelan terdengar di belakang mereka. Marcello muncul, berdiri di ambang pintu, menyaksikan pelukan itu—dan wajah Zulfa yang basah air mata. Tak ada keberanian dalam dirinya untuk menghentikan momen itu.
Hanya perasaan kalah. Dan sesal yang tak pernah cukup untuk membayar waktu yang telah hilang.
❤️❤️❤️
Langkahnya gontai, seolah seluruh tenaga terserap habis oleh pertemuan yang menyayat di dalam tadi. Air mata Nafisah masih mengalir, membasahi wajahnya yang lelah. Ia mencoba menyeka pipinya, tapi tangis itu terlalu dalam untuk segera reda.
Suara pintu tertutup di belakangnya. Ia berdiri sebentar di lorong panjang itu, menunduk, kedua tangannya menyentuh perutnya yang membuncit—sebuah kehidupan lain yang sedang tumbuh, di tengah semua luka yang belum sembuh.
Nafisah dan Zulfa memasuki lift dan kotak besi itu bergerak menuju lobi bawah. Setelah keduanya keluar lift dan berdiri di pinggir jalan hendak melangkah, tiba-tiba tubuh Nafisah terpaku. Rasa nyeri tiba-tiba menyerang bagian bawah perutnya. Ia terhuyung, satu tangan menahan lengan Zulfa, satu lagi mencengkeram perutnya erat-erat.
Nafisah tersengal, pelan
"Tidak... bukan sekarang..."
Wajahnya pucat. Nafasnya terengah. Detak jantungnya berpacu cepat seiring kontraksi yang semakin terasa. Nafisah meringis, menahan sakit, tubuhnya perlahan merosot ke lantai. Hujan di luar makin deras, dan suara guntur menggema jauh di langit malam.
Tangannya meraih ponsel di tas, namun jatuh sebelum sempat membuka layar. Nafasnya semakin berat, tubuhnya mulai menggigil.
"Nafisah?! Astaga—ya Allah!" Zulfa mendekap Nafisah yang sudah setengah terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit.
Nafisah gemetar. "Zulfa... dia... mau lahir..."
Zulfa panik, tapi berusaha tetap tenang. Ia menggenggam tangan Nafisah erat, mencoba menyalakan ponsel yang terjatuh dan menghubungi bantuan. Langkah orang-orang di lantai mulai terdengar—seorang staf keamanan berlari menghampiri.
Zulfa berteriak panik, ia juga menyalahkan keadaan. Kenapa di saat seperti ini mobilnya sedang berada di bengkel sehingga tidak ada pilihan lain selain menggunakan jasa taksi online.
"Tolong! Panggil ambulans! Nafisah... kontraksi! Cepat!"
Waktu seolah melambat. Di tengah semua luka dan keputusasaan, kehidupan lain sedang mengetuk pintu dunia. Bayinya Nafisah ingin lahir. Di tengah kekacauan. Di tengah kenyataan pahit yang masih menggantung di antara dirinya dengan Adelard semua.
❤️❤️❤️
Next info lanjutan cerita
https://www.liarezavahlefi.com/2025/09/novel-kukira-kau-tempat-ternyata-luka.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar