Langit sore menggantung kelabu, seolah menyaksikan konspirasi yang perlahan disusun. Di sebuah rumah mewah nan megah milik keluarga Aristaldi, ruang kerja Stephano dibalut kayu mahoni dan aroma cerutu tua. Sebuah rak buku besar membentang di belakangnya, tetapi tak satu pun halaman itu mampu menyaingi isi pembicaraan yang akan terjadi sore itu.
Valeria duduk bersila di sofa kulit Italia berwarna gelap. Tubuhnya bersandar santai, tetapi sorot matanya tajam dan sarat perhitungan. Di tangannya, segelas wine berputar pelan.
Stephano berdiri di dekat jendela besar, menatap keluar seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh—atau menyusun langkah licik berikutnya.
"Kau harus masuk Islam. Setidaknya... di atas kertas. Kalau tidak, pernikahan kalian tidak akan pernah disahkan di sini."
Valeria mengangkat alis, lalu meneguk minuman tanpa terburu-buru. Bibirnya membentuk senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia telah memperhitungkan semua.
"Syahadat? Hanya dua kalimat, kan? Aku bisa menghafalnya seminggu. Bahkan dengan aksen terbaik."
"Jangan bermain-main, Valeria. Ini bukan soal kalimat, ini soal status legal. Kau akan jadi istri Marcello secara sah. Itu artinya, kita punya kendali penuh atas bisnis dan reputasi keluarga."
Valeria menyilangkan kaki, mengangguk.
"Biarkan publik percaya bahwa aku berubah demi cinta. Akan lebih dramatis, bukan? Wanita kafir yang rela masuk Islam demi pria idamannya."
Stephano menoleh, mendekat, dan menatap Valeria lekat-lekat.
"Bagus. Setelah itu, kita langsung adakan akad resmi. Jangan beri Marcello celah untuk berpikir. Sekali dia menikahimu, semuanya akan terkunci. Termasuk hak waris Rafa."
Seketika, suasana menjadi lebih sunyi. Angin dari jendela menggerakkan tirai pelan, seperti bisikan dosa yang menyusup dari masa lalu.
Valeria tersenyum, kali ini lebih dalam—senyum seorang wanita yang tahu, tak semua yang sah itu suci. Dan tak semua yang tampak indah, berasal dari cinta.
❤️❤️❤️
Hujan rintik jatuh membasahi jendela kaca masjid kecil yang sunyi di sudut kota. Di dalam ruang pembinaan mualaf yang sederhana, aroma kayu dan lembaran Al-Qur'an yang terbuka menenangkan udara. Namun tidak dengan hati Marcello.
Pria itu duduk bersimpuh di atas sajadah, tubuhnya tegap namun ragu. Matanya menunduk, menatap lantai seolah di sanalah jawaban yang ia cari. Di hadapannya, seorang ustaz berusia lanjut memandangnya penuh kasih, menunggu pria muda itu membuka isi hatinya.
Tangan Marcello mengepal. Nafasnya berat. Kemeja putihnya tampak sedikit kusut, mencerminkan gejolak yang sejak tadi ia sembunyikan.
"Ustadz... apakah pernikahan tetap sah kalau... saya tahu perempuan itu hanya berpura-pura masuk Islam?"
Suara Marcello bergetar, perlahan namun jelas. Ia tidak sedang mencari pembenaran, ia mencari keberanian untuk tidak menjadi pengecut di hadapan imannya.
Ustadz itu menghela napas, lalu menatap Marcello dalam-dalam.
"Kalau niatnya bukan karena Allah, maka akad itu tidak sah di hadapan-Nya. Kau boleh dibohongi manusia, tapi tidak oleh Tuhanmu, Marcello."
Kalimat itu menyayat diam-diam. Marcello menunduk makin dalam, seakan lututnya tak cukup kuat menopang rasa bersalah yang menggunung.
Marcello pelan, nyaris berbisik
"Tapi ayah saya... menekanku. Semua ini... sudah terlanjur besar."
"Tak ada yang terlalu besar untuk Allah. Kau ingin pernikahan... atau kau ingin ridha-Nya? Pilih, Nak. Sebab dalam agama ini, keimanan tak bisa dipaksakan, apalagi dipalsukan." Ustadz itu menatap Marcelo dengan lembut namun tegas.
Diam. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Di luar, hujan masih turun. Tapi dalam dada Marcello, ada badai lain yang jauh lebih deras.
❤️❤️❤️
Hujan belum reda sejak pagi. Langit mendung menggantung di atas kota, seolah menyimpan seluruh duka dunia dan menumpahkannya lewat butiran air yang tak kunjung berhenti. Di sudut ruang tengah rumah Nafisah, Zulfa duduk membisu, tubuhnya melingkar di atas sofa dengan selimut tipis membungkus kakinya. Hawa dingin bukan hanya berasal dari cuaca luar, tetapi juga dari dalam dadanya sendiri—kosong, sunyi, dan menggigil oleh luka yang tak terdefinisi.
Ponselnya menyala di meja depan. Sebuah notifikasi muncul dari grup keluarga bisnis ternama. Teksnya singkat, formal, tapi cukup untuk menghancurkan dinding pertahanan terakhir dalam hatinya.
"Akad Marcello dan Valeria akan berlangsung minggu depan secara tertutup. Mohon doa restu."
Zulfa menatap layar itu lama. Tatapannya kosong, bibirnya tak bergerak, namun dalam hatinya, ada sesuatu yang retak. Suatu rasa yang dulu ia kubur dalam-dalam kini menyeruak kembali tanpa diundang. Seperti debu luka lama yang terbang terbawa angin hujan.
Tangannya yang sejak tadi memeluk bantal perlahan melemas. Nafasnya tercekat, seolah udara yang mengelilinginya pun ikut mengkhianatinya. Matanya tak berkedip, hanya berkaca-kaca, menahan luapan air mata yang tak ingin terlihat lemah. Tapi tubuhnya sudah bicara—bahunya bergetar pelan, dadanya naik turun tak teratur.
Zulfa bergumam, pelan
"Jadi... semua ini benar? Dia... menikah dengan Valeria?"
Suara itu hampir tak terdengar, hanya seutas benang tipis yang mengikat antara mulut dan hatinya yang sudah nyaris hancur. Satu kalimat pendek yang mengandung beban bertahun-tahun rasa sakit, ketakpastian, dan janji-janji diam yang tak pernah ditepati.
Ia menyeka ujung matanya, namun jari-jarinya hanya memperburuknya. Air mata pertama akhirnya jatuh, membentuk jejak halus di pipi pucatnya.
Kenangan pun datang seperti hujan deras yang tak terbendung.
Marcello—dengan wajahnya yang teduh dan tatapan penuh beban saat menatap Zulfa dari balik kaca rumah sakit. Saat tubuh Zulfa dipenuhi luka, dan pria itu bersimpuh dengan mata merah, menciumi tangan Zulfa yang lemah. Semua itu nyata. Semua itu bukan ilusi.
Lalu... mengapa hari ini pria yang sama akan menikah dengan wanita yang pernah menusuk Zulfa berkali-kali? Valeria—perempuan yang menjadi mimpi buruk hidupnya, pembohong yang mempermainkan nasib dan masa depan.
Seketika dada Zulfa terasa sesak. Ia memeluk bantal lebih erat, seolah berharap ada pelukan nyata yang bisa menenangkan badai di dalam dirinya. Tapi rumah itu sunyi. Nafisah sedang tidur siang, dan hanya suara rintik hujan yang menemani hatinya yang remuk.
"Kalau begini akhirnya... untuk apa aku bertahan?"
Tak ada jawaban. Hanya suara tetesan hujan yang jatuh ke daun jendela, seolah ikut menangis bersamanya.
Tiba-tiba, sebuah rasa nyeri menjalar dari lengannya. Zulfa menunduk, menatap lengan kirinya yang masih berbalut bekas luka tembakan. Luka itu belum sepenuhnya sembuh. Ia mengangkat lengannya perlahan, menyentuh bekas perban yang kini diganti perban kering, dan menahan napas saat rasa nyeri menusuk kembali.
Tangannya bergetar.
"Malam itu... aku bisa mati. Tapi yang lebih sakit... bukan lukanya."
Kilasan kejadian malam itu menghantam pikirannya—tangisan Rafa, wajah Marcello yang panik, suara tembakan, tubuhnya yang roboh dalam pelukan Marcello. Ia terluka... tapi tetap ditinggalkan.
Tangisnya pecah pelan. Kali ini ia tak menahannya. Bantal yang ia peluk menjadi saksi betapa kerasnya ia menggigit bibir sendiri, hanya untuk tidak mengeluarkan suara.
"Kenapa... harus aku? Kenapa harus terus aku?" isak Zulfa pelan dan bergetar
Jendela besar di ruang tengah memantulkan bayangan dirinya—perempuan yang tampak kuat di luar, tapi hancur di dalam. Sementara di luar sana, seseorang yang ia cintai akan menikah dengan perempuan yang membuat hidupnya porak-poranda.
Seketika, hatinya dingin. Tidak oleh hujan, tapi oleh kesadaran bahwa mungkin... tidak ada harapan lagi.
❤️❤️❤️
Senja mulai turun pelan. Langit memudar keabu-abuan, seperti menandai tenggelamnya satu harapan yang tak sempat tumbuh. Di kamar sepi yang hanya diterangi cahaya dari layar ponsel, Adelard duduk sendiri. Tak ada suara selain detak jarum jam dan desahan napasnya yang berat.
Di tangannya, layar ponsel memunculkan pesan yang entah kenapa membuat jantungnya berdetak tak menentu.
"Akad Marcello dan Valeria akan berlangsung minggu depan. Secara tertutup. Mohon doa restu."
Adelard terdiam.
Matanya tak berkedip. Lama menatap layar seolah berharap huruf-huruf itu berubah.
Tapi tak ada yang berubah.
Ponsel perlahan diletakkan di meja. Tangan kirinya mengusap wajah. Kepalanya tertunduk. Dalam diam, pikirannya menolak percaya, namun logikanya tidak bisa menolak satu hal:
"Jika Marcello akan menikahi Valeria... lalu apa sebenarnya hubungan mereka? Bukankah... Rafa anak mereka berdua?"
Rasa sesak merayap perlahan. Bukan karena cemburu, tapi karena keganjilan yang mencurigakan. Ada potongan-potongan kebenaran yang tak pernah menyatu. Cerita yang terlalu rapi untuk dianggap nyata.
"Kalau Rafa benar-benar anak Marcello dan Nafisah... kenapa Marcello terlihat tak peduli? Kenapa dia malah menikahi Valeria? Dan kenapa Nafisah—yang selama ini kuanggap mengkhianatiku—tak pernah sekali pun menunjukkan kebahagiaan dengan Marcello?"
Ia berdiri, berjalan pelan menuju jendela, memandangi hujan yang mengguyur kaca.
Semakin ia memikirkannya, semakin tak masuk akal.
"Ada yang salah. Sesuatu yang sengaja disembunyikan. Mungkin... selama ini aku salah menaruh curiga pada orang yang tidak bersalah."
Ia mengepalkan tangan. Kali ini bukan karena marah, tapi karena tekad yang mulai tumbuh.
Ia tak mau jadi penonton dari sandiwara yang dimainkan terlalu lama.
Ia ingin tahu: siapa sebenarnya yang merebut siapa. Dan siapa yang sedang dikorbankan tanpa suara
❤️❤️❤️
Hai aku udah update ya. Makasih sudah baca,
sehat selalu buat kalian.
Next Chapter 60. Klik link di bawah ini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar