Gudang tua yang sudah lama ditinggalkan, terletak di pinggiran kota. Lampu neon menggantung dengan cahaya remang, sesekali berkedip. Bau besi tua dan debu menyelimuti udara. Di luar, suara gerimis turun pelan, menambah kesan kelam malam itu.
Langkah kaki Hanif menggema di antara lorong sempit gudang. Wajahnya tegang, matanya menyapu ke segala arah, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dalam genggamannya, sebuah flashdisk kecil yang berisi bukti kejahatan Stephano—bukti yang bisa menghancurkan banyak nama besar.
Di ujung lorong, seorang pria sudah menunggu. Mengenakan jaket kulit, wajahnya setengah tertutup oleh topi dan masker hitam. Dialah seorang jurnalis investigasi bawah tanah, terkenal dengan keberaniannya membongkar korupsi kelas atas.
"Tepat waktu. Aku nyaris berpikir kau akan mundur, Hanif."
"Kalau aku mundur, tak akan ada yang tahu siapa monster di balik jas mewah itu." dingin, tanpa basa-basi
Hanif menyerahkan flashdisk ke tangan jurnalis itu.
"Semua ada di situ."
Pria itu menatap flashdisk itu sejenak, lalu menaruhnya ke dalam saku dalam jaketnya.
"Kalau aku rilis ini. Kau siap menghadapi konsekuensinya?"
"Ini bukan tentang siap atau tidak. Ini tentang kebenaran yang terlalu lama dikubur demi reputasi keluarga busuk."
"Apa kau sadar setelah ini, mereka bisa menargetkan siapa saja yang dekat denganmu? Termasuk perempuan hamil yang kau lindungi itu?"
Hanif terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan berat.
"Justru karena itu aku harus selesaikan ini. "
"Baiklah. Tapi kalau aku mati sebelum ini dipublikasikan, pastikan salinan datanya tersebar."
"Sudah kusimpan di tiga tempat berbeda. Termasuk satu, di tangan orang yang kau kira lemah—Zulfa."
Keduanya berpisah tanpa berjabat tangan. Langkah mereka menjauh ke arah berlawanan. Di langit, petir menyambar sesaat—seolah menandai bahwa badai besar akan segera datang.
Di malam sunyi itu, keheningan menjadi saksi—bahwa kebenaran sebentar lagi akan mengguncang dunia yang selama ini berdiri di atas kebohongan.
❤️❤️❤️
Angin malam meniup lembut tirai jendela yang dibiarkan terbuka. Rumah itu tampak sama seperti dulu—tenang, bersih, tapi penuh kenangan yang menyimpan luka yang belum sembuh. Zulfa berdiri di depan pintu, menggenggam koper kecil, ragu mengetuk.
Tak lama kemudian, ibunya membukakan pintu. Raut wajahnya kaget, tapi matanya hangat.
"Zulfa...? Nak... kau pulang?"
Zulfa tersenyum kecil, menahan tangis.
"Kalau... aku boleh tinggal semalam... aku capek, Bu."
Tanpa banyak tanya, sang ibu memeluknya. Hangat. Damai. Tapi jauh di dalam dada Zulfa, badai sedang berkecamuk. 1 jam kemudian Zulfa duduk di ruang tengah, ditemani secangkir teh yang sudah mendingin.
"Zulfa... sudah waktunya kamu jujur, Nak. Kami tahu... sejak dulu."
Zulfa membeku. Bibirnya gemetar. Ia menunduk, lalu mulai bicara dengan suara tercekat.
"Waktu itu... aku takut. Tak ada yang tahu malam itu, saat Marcello... saat aku tak sadar... dan tiba-tiba semuanya berubah. Aku hamil. Aku benci semuanya. Aku benci anak itu, benci diriku sendiri."
"Aku tak sanggup melihat wajah bayi itu. Setiap tangisnya mengingatkanku pada luka yang tak pernah sembuh. Lalu Nafisah datang. Dia... dia satu-satunya orang yang tetap di sisiku. Dia memutuskan mengadopsinya. Aku menyerahkannya tanpa pamit... tanpa berpikir."
Ayah Zulfa dari balik koran yang ia letakkan perlahan
"Anak itu... Rafa, ya? Kami sempat mendengar dari keluarga Nafisah... Tapi kami tak mau ganggu, karena kamu sendiri menghilang, Zul."
Zulfa menangis. Tangannya menutup wajah. Air mata jatuh membasahi pangkuan.
"Maafkan aku... aku pengecut... Aku sembunyi, berharap semua bisa kulupakan... Tapi sekarang semuanya kembali."
"Kamu bukan pengecut. Kamu terluka. Tapi sekarang saatnya kamu berdiri lagi, Zul. Rafa butuh ibunya. Dan kamu harus tahu... darahmu mengalir di dirinya." Dengan pelan ibunya Zulfa pun memeluk putrinya.
"Tapi... bagaimana kalau aku terlambat? Bagaimana kalau dia membenciku?"
Ayah Zulfa menatp putrinya dengan sorotan tajam dan bernada tegas.
"Belum terlambat untuk menjadi ibu. Tapi akan selalu terlambat kalau kamu terus bersembunyi." Ayah Zulfa menghela napasnya. "Maafkan kami waktu itu sempat mengusirmu dan kecewa padamu setelah akad nikahmu dengan Marcello."
Malam itu Zulfa tak tidur. Ia duduk di kamarnya, menatap foto masa kecilnya yang terpajang di dinding. Untuk pertama kalinya, ia menuliskan nama RAFA di secarik kertas. Dan untuk pertama kalinya pula... ia mengizinkan dirinya sendiri untuk merindukan anaknya.
❤️❤️❤️❤️
Pagi itu langit cerah, tapi hati Zulfa tetap kelabu. Ia mengantar Nafisah ke klinik kandungan untuk kontrol kehamilan bulan ke 8. . Nafisah tampak lelah, tapi tenang. Zulfa terus menggenggam tangan sahabatnya itu saat duduk di ruang tunggu yang sejuk dan wangi antiseptik.
"Kalau anaknya perempuan, kamu mau kasih nama siapa?" tanya Zulfa, mencoba mencairkan suasana.
Nafisah tersenyum tipis. "Aku belum tahu. Mungkin... sesuatu yang manis. Tapi kuat."
Sebelum Zulfa bisa menjawab, pintu utama klinik terbuka.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar memecah kesunyian. Zulfa menoleh—dan detik itu juga jantungnya berhenti berdetak sejenak.
Valeria.
Berjalan anggun mengenakan dress krem longgar. Wajahnya cantik sempurna. Tapi bukan itu yang membuat Zulfa tercekat. Marcello ada di sampingnya.
Zulfa menegakkan tubuhnya. Nafasnya tercekat ketika melihat keduanya.
"Marcello..." lirih Zulfa tanpa sadar.
Marcello juga terkejut. Ia menatap Zulfa dan Nafisah, seolah tidak menyangka mereka akan ada di sana.
"Oh, betapa kebetulan..." suara Valeria menyela, berpura-pura ramah. "Zulfa, kamu juga kontrol? Atau sekadar menemani si penggoda itu?" lirihnya merendahkan Nafisah.
Zulfa menahan diri, tapi sorot matanya tajam.
Marcello mencoba menengahi. "Zulfa, ini semua—"
"Jangan," Zulfa memotong cepat, nadanya bergetar. "Jangan jelaskan apa pun. Aku hanya tidak menyangka... ternyata kamu sudah kembali ke jalan yang sama."
Valeria tersenyum simpul, lalu dengan sengaja mengelus perutnya.
"Ya, karena Marcello bukan hanya kembali padaku. Tapi dia akan jadi ayah dari anak kami."
Nafisah langsung menoleh ke Zulfa, melihat mata sahabatnya membeku. Zulfa tidak berkata apa-apa, tapi air matanya jatuh tanpa suara. Ia menggenggam erat tangan Nafisah, seolah butuh pegangan agar tidak runtuh saat itu juga.
❤️❤️❤️
Di dalam ruang kerja pribadi yang remang dan penuh bayangan, Marcello duduk sendirian. Tangannya mengepal di atas meja, matanya menatap kosong pada layar tablet yang menampilkan beberapa dokumen ancaman—foto-foto, video, bahkan bukti manipulatif yang bisa menghancurkan reputasi semua orang yang ia cintai.
Valeria tahu kelemahannya.
Dan ia memanfaatkannya dengan sempurna.
Tak hanya soal pernikahan yang terus dipaksakan, tapi kini juga ancaman yang menjalar lebih dalam, lebih beracun dari sebelumnya.
"Satu langkah saja kau dekati Zulfa," suara Valeria bergema dalam ingatannya, "dan aku akan pastikan orang-orang yang kau sayangi—ibumu, Rafa, bahkan Nafisah—akan kehilangan segalanya. Kau pikir aku tidak bisa?"
Marcello memijit pelipisnya keras. Ia tahu ayah Valeria memiliki banyak pengaruh. Termasuk koneksi gelap yang bisa membuat jejak masa lalu siapa pun terbuka hanya dalam semalam.
Dan Valeria bukan hanya anak dari pria itu—dia adalah murid terbaiknya.
Bahkan Stephano pun memilih bungkam.
"Kita harus menjaga hubungan dengan keluarga Ardelvano," ucap ayahnya tempo hari. "Tanpa mereka, kita hancur. Perusahaan kita pernah nyaris bangkrut—aku tak akan biarkan itu terjadi lagi hanya karena perasaan picisanmu terhadap seorang perempuan."
Perasaan.
Ya, bagi mereka, cinta hanyalah kelemahan.
Tapi bagi Marcello, Zulfa adalah satu-satunya cahaya yang tersisa.
Namun sekarang...
Marcello memandang fotonya bersama Rafa. Bocah kecil yang tak pernah ia jaga sejak awal. Yang kini bahkan harus tinggal di bawah bayang-bayang pengawasan Stephano.
Ia mengingat kata-kata Valeria lainnya—lebih tajam dari belati.
"Jika kau ingin anak itu hidup tenang, jangan buat keributan. Nikahi aku. Jalani semuanya seperti yang sudah dirancang. Atau kau akan lihat betapa mudahnya semuanya runtuh."
Dan kini, ia terjebak.
Antara membiarkan cinta hidup dan semua orang hancur,
atau membiarkan dirinya sendiri mati perlahan di dalam ikatan palsu.
Marcello menggenggam dadanya yang sesak.
Tak ada lagi pilihan benar.
Yang ada hanya pengorbanan... dan siapa yang lebih dulu kehilangan dirinya.
❤️❤️❤️
Next Chapter 59. Klik link di bawah ini :
https://www.liarezavahlefi.com/2025/09/chapter-59-akad-yang-tak-bernyawa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar