Chapter 57 : Milik Siapa Luka Ini - LiaRezaVahlefi

Masya Allah Alhamdullilah - Kumpulan lanjutan episode cerita di wattpad dan platfrome kepenulisan serta artikel umum Happy Reading :)

Senin, 22 September 2025

Chapter 57 : Milik Siapa Luka Ini



 Adelard duduk sendirian di sofa, mengenakan sweater hitam longgar dan celana training. Di depannya, sebuah gelas kopi yang sudah dingin, tak tersentuh sejak satu jam lalu. Di pangkuannya, sebuah buku cerita anak-anak yang tak kunjung ia baca, hanya digenggam erat—buku yang dulu ia beli diam-diam, saat tahu Nafisah sedang hamil.

Matanya menerawang jauh. Bukan ke luar jendela, tapi ke dalam pikirannya yang penuh kekacauan. Hidup Adelard sekarang seperti ruangan ini—rapi, tenang, dan kosong. Tak ada suara. Tak ada tawa Nafisah. Tak ada harapan.

Sejak ia memutuskan menjauh, hidupnya seperti kehilangan warna. Ia tetap pergi bekerja, menghadiri rapat di penerbit, menyusun rencana bisnis. Tapi semuanya seperti dijalani dengan tubuh yang kosong.

Setiap malam, ia terjaga. Terus dihantui pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.

"Kenapa Nafisah tak pernah jujur sejak awal?"
"Atau... aku hanya seseorang yang terlalu ingin dipercaya, sampai tak bisa melihat kebenaran?"

Adelard bangkit dari sofa, melangkah ke arah jendela dan menyentuh permukaannya yang dingin. Adelard berbisik "Jika waktu bisa diulang... aku ingin percaya padamu, Nafisah. Tapi sekarang... aku bahkan tak tahu siapa dirimu."

Hujan di luar semakin deras. Tapi tidak ada air mata yang jatuh malam itu. Hanya dada yang sesak oleh rindu, marah, dan cinta yang tak tahu ke mana harus berpulang.

Di sudut hatinya, ia berharap—meski kecil dan nyaris mati—bahwa Nafisah akan datang. Tidak untuk menjelaskan. Tapi untuk membuatnya percaya lagi... bahwa cinta bisa sembuh, meski sudah luka sedalam ini.

❤️❤️❤️

Nafisah duduk di sudut sebuah kafe kecil yang tak terlalu ramai. Meja di dekat jendela kaca besar menjadi tempat pelariannya. Ia menyandarkan dagu di tangannya, sementara di depannya, sepiring cake stroberi diletakkan dengan rapi, ditemani secangkir teh hangat.

"Lucu. Aku benci manis, tapi akhir-akhir ini selalu mencari rasa strawberry. Entah karena anak ini... atau karena ingin mengimbangi pahitnya kenyataan."

Ia menyendok sedikit kue itu ke mulutnya. Rasa manis menyentuh lidahnya, tapi tidak sampai ke hati. Matanya kosong menatap langit di luar jendela karena beberapa hari ini musim hujan hingga flashback kilat, tatapan Adelard di toko bayi tadi kembali muncul dalam benaknya. Tatapan itu bukan hanya luka. Tapi juga tanya. Harapan. Dan luka yang belum sembuh.

Air matanya jatuh pelan tanpa ia sadari. Seorang pelayan datang membawakan tisu, tapi Nafisah hanya tersenyum kecil tanpa suara, lalu kembali menatap keluar jendela.

"Kalau aku bisa mengulang waktu, aku ingin bilang... aku tak pernah ingin menyakitimu, Adelard. Aku hanya terlalu takut. Terlalu takut kamu akan benci anak ini seperti kamu benci aku..."

Nafisah menyadari seseorang menatapnya. Ia mendongak—mata mereka bertemu. Kenapa di saat seperti ini ia bisa bertemu Adelard?

Waktu berhenti.

Tak ada sapaan. Tak ada senyuman. Hanya mata yang saling bicara.

"Aku tahu... aku tak pantas lagi untuk ditatap seperti itu." sela Nafisah dalam hati.

"Aku ingin bertanya... tapi aku takut mendengar jawabannya." begitupun ucapan Adelard

Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, Nafisah memilih memalingkan wajah dan segera menghabiskan cake nya kemudian melangkah pergi.

Tapi langkahnya tertahan.

"Nafisah..." cegah Adelard pelan.

Nafisah berhenti. Tapi tak berbalik.

"Perempuan...? Anak itu... anak kita?"

Hening.

Air mata Nafisah jatuh, tapi ia tak menjawab.

Ia hanya melangkah pergi, meninggalkan Adelard yang berdiri terpaku. Untuk kali pertama... Adelard tak marah. Ia hanya hancur pelan-pelan, oleh satu hal yang disebut: kerinduan.

❤️❤️❤️

Lampu temaram dari tiang jalan menyinari sebagian area parkir yang mulai sepi. Angin malam menusuk kulit, membawa aroma antiseptik dari rumah sakit. Zulfa baru saja keluar dari ruang perawatan Rafa. Wajahnya masih lelah tapi penuh harap, seperti ibu yang baru saja dipertemukan dengan separuh jiwanya.

Zulfa berjalan pelan menuju mobil, tapi langkahnya terhenti. Valeria berdiri di depannya.Berpakaian rapi dengan mantel panjang krem, rambutnya tersisir sempurna. Tapi sorot matanya... tajam, penuh racun. Senyum dingin itu tak menyentuh matanya.

"Kukira kau sudah cukup tahu diri untuk menghilang, Zulfa."

Zulfa menatap Valeria, tenang di luar tapi dadanya bergemuruh. Ia tak menjawab, hanya menahan napas.

"Marcello akan menikah denganku minggu depan. Semua sudah diatur. Gaun, undangan, tempat... bahkan media sudah siap. Dan sekarang kau muncul, membuat kekacauan?"

"Aku tak berniat membuat kekacauan. Aku hanya ingin melihat anakku."

Valeria menyeringai

"Anakmu? Ah, betapa mulianya seorang ibu yang dulu tega meninggalkan bayinya karena membencinya. Jangan bersikap sok suci, Zulfa. Semua orang bisa tahu masa lalumu... kalau aku mau."

Zulfa mengepalkan tangan, tapi tetap tenang.

"Apa maksudmu?"

"Satu langkah saja kau mendekati Marcello lagi, aku pastikan semua orang tahu aibmu. Foto-foto masa lalumu. Rekaman kebohonganmu. Bahkan... aku bisa putarbalikkan cerita hingga kau terlihat seperti wanita murahan yang menjebak Marcello dengan anak." 

Valeria dengan suara pelan tapi menusuk

Zulfa terdiam. Rahangnya mengeras.

"Jangan ganggu hidupku, Zulfa. Kau sudah kehilangan segalanya. Aku yang akan berdiri di samping Marcello. Bukan kau."

Zulfa menatap Valeria, kali ini dengan mata yang berani.

"Aku tak takut padamu, Valeria. Mungkin dulu aku diam. Tapi sekarang... aku bukan Zulfa yang sama."

"Lalu mari kita lihat... siapa yang lebih pandai bermain. " Valeria berbalik dan melangkah pergi dengan angkuh, sepatu hak tingginya berdetak di lantai parkiran yang kosong. Zulfa berdiri di sana, tubuhnya gemetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena tekad yang mulai tumbuh kuat di dalam dirinya.

❤️❤️❤️

Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian☺

With Love : Lia

Instagram : lia_rezaa_vahlefii


Next Chapter 58. Klik link dibawah ini :

https://www.liarezavahlefi.com/2025/09/chapter-58-ketika-diam-jadi-pelindung.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar