Suara langkah kaki yang tenang namun penuh wibawa menggema di koridor rumah sakit. Nafisah sedang duduk di samping tempat tidur Rafa, mengusap lembut kening anak itu yang masih demam, ketika pintu ruang perawatan perlahan terbuka.
Aroma parfum mahal menyelusup lebih dulu, diikuti oleh sosok pria tua berjas rapi dengan sorot mata tajam namun letih. Stephano.
Nafisah sontak berdiri. Wajahnya pucat.
"A-ayahnya Marcello?" ucap Nafisah kaku, hampir berbisik.
Stephano mengangguk pelan, lalu menatap Rafa sejenak. Ada sorot emosi yang sulit ditebak dalam matanya. Ia mendekat tanpa berkata apa-apa.
"Aku tahu... aku bukan siapa-siapa bagi Rafa di matamu, Pak," suara Nafisah bergetar, mencoba menahan diri.
Stephano menoleh perlahan. "Tapi kamu pernah menjadi seseorang bagi bocah ini. Aku menghargai itu."
Kalimat itu membuat Nafisah terpaku. Ia menunduk, menahan sesak di dadanya.
"Tapi sekarang saatnya yang seharusnya... kembali mengambil peran."
Ada jeda panjang di antara kalimat itu. Nafas Nafisah bergetar. Ia paham maksudnya.
Dengan tatapan terakhir yang penuh rindu ke arah Rafa, Nafisah mengangguk pelan. "Aku pamit... jaga dia baik-baik."
Tanpa drama berlebih, Nafisah melangkah keluar dari ruangan. Tersenyum samar, meski air mata jatuh tanpa izin.
❤️❤️❤️
Satu jam kemudian...
Pintu kembali terbuka. Kali ini sosok itu masuk dengan langkah gelisah, cepat, dan penuh penyesalan. Marcello. Rambutnya acak-acakan, napasnya terengah, seperti baru saja berlari sepanjang koridor.
Tatapannya langsung tertuju pada tubuh mungil Rafa di ranjang.
"Ya Tuhan... Rafa..." Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan anak itu dengan sangat hati-hati.
"Ayah minta maaf...," ucapnya lirih. "Maaf karena ayah terlalu sibuk dengan omong kosong dunia... sampai lupa ada dunia kecil yang cuma ingin dipeluk."
Marcello menunduk, membenamkan wajahnya di selimut Rafa.Tangisnya pecah diam-diam. Bisu, tapi dalam.
Lelaki itu retak, dan dunia menyaksikannya.
Namun kesunyian itu mendadak pecah oleh suara tinggi seorang perempuan yang tengah beradu argumen dengan dua pria berbadan kekar berpakaian hitam.
"Aku bilang, izinkan aku masuk! Aku ibunya!" seru Zulfa, matanya merah dan napasnya memburu karena berlari.
Salah satu bodyguard Stephano membentangkan tangan, berdiri tegak dan kaku di depan pintu ruangan Rafa.
"Maaf, Ibu Zulfa. Kami hanya mengikuti perintah langsung dari Tuan Stephano. Tak seorang pun boleh masuk tanpa izin."
Zulfa mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah yang mulai meluap.
"Apa hak kalian menghalangi aku?! Anakku sakit di dalam dan kalian melarangku melihatnya?!" suaranya mulai bergetar, antara marah dan panik.
Bodyguard yang lain maju setapak. "Tolong tenang, Bu. Ini tempat umum, jangan memaksa. Atau kami akan menghubungi keamanan."
Zulfa menatap mereka tak percaya. Dadanya sesak. Langkahnya sempat mundur setapak, tapi hanya untuk menghentakkan suara lebih keras..
"KALIAN TIDAK TAHU RASA SAKITNYA SEORANG IBU YANG TAK BISA MENYENTUH ANAKNYA SAAT SAKIT!"
Keributan itu menarik perhatian para perawat dan juga... Marcello, yang saat itu tengah menemani Rafa di dalam. Ia segera beranjak dan membuka pintu ruangan. Seketika, suara Zulfa menembus udara, menggema hingga ke jantungnya.Dengan langkah cepat, Marcello menghampiri para pengawal.
"Biarkan dia masuk."
Salah satu bodyguard memberi hormat. "Tuan, wanita ini mengaku—"
Marcello mengangkat tangannya menghentikan. Tatapannya sudah tertuju penuh pada Zulfa.
Wajah Zulfa tampak lelah, berlinang air mata, tapi juga tegas. Seperti ibu yang mempertaruhkan harga dirinya demi putra tercinta.
Marcello menarik napas dalam, lalu berkata pelan namun tegas:
"Ini bukan urusan kalian."
Kedua bodyguard saling pandang, lalu mundur perlahan tanpa banyak bicara. Marcello menghampiri Zulfa, menatapnya sebentar—pandangan yang tak sempat diterjemahkan oleh keduanya.
"Dia demam... dan memanggil sebutan mama dalam tidurnya," ucap Marcello pelan, lirih. "Masuklah."
Zulfa tak menjawab. Ia hanya berjalan cepat melewati Marcello, membuka pintu ruang rawat, dan menemukan Rafa—wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, tapi matanya berbinar lemah saat melihatnya.
"Aunty..." lirih Rafa, suara kecil itu menggetarkan seluruh dinding hati Zulfa.
Dan saat itu juga, dunia seolah membeku. Semua luka, semua pertanyaan, semua konflik... lenyap seketika dalam pelukan seorang ibu yang akhirnya bisa memeluk anaknya kembali.
Zulfa tidak perduli dengan Rafa yang sejak lahir mengira dirinya seorang tante padahal jelas-jelas dia adalah ibu kandungnya.
"Aku datang bukan untukmu, Marcello," ucap Zulfa, datar namun penuh makna tanpa harus menoleh ke belakang. "Aku datang... karena aku ibunya."
Marcello terdiam. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada apapun. Tapi ia hanya mengangguk pelan. Tak ada yang bisa ia bantah.
Zulfa membelai rambut anaknya dengan lembut, mata berkaca-kaca.
"Maafkan Mama... karena terlambat." bisik Zulfa dalam hati.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rafa tertidur dalam kehadiran dua orang tuanya—bukan sebagai pasangan, tapi sebagai dua hati yang pernah patah... demi satu nama: Rafa.
❤️❤️❤️
Di dalam ruang rawat, suara napas Rafa mulai terdengar teratur. Zulfa duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kecil anak itu dengan lembut. Ia tak berhenti membelai rambut Rafa yang mulai lembap oleh keringat. Pelan-pelan, air matanya jatuh membasahi punggung tangan Rafa.
Marcello berdiri tak jauh di belakangnya, bersandar di dinding. Pandangannya jatuh pada Zulfa dan anak yang selama ini ingin ia kenali lebih dekat... putranya sendiri.
Zulfa dengan suara nyaris berbisik "Dia makin besar... tapi tetap mengingatku sebagai 'Tante' bukan Mama. Aku kira dia sudah melupakanku."
Marcello pun menunduk. "Dia tidak pernah lupa, Zulfa. Sama seperti aku..."
"Jangan mulai lagi, Marcello. Jangan buat aku bingung lagi."
"Kamu percaya dengan berita fitnah tentangku itu?"
Sebelum Zulfa sempat membalas, pintu ruangan terbuka lebar. Seorang pria paruh baya dengan jas mahal dan wajah dingin masuk. Stephano.
Stephano melangkah masuk dengan tenang, tapi sorot matanya tajam.
"Apa yang kau lakukan di sini, Zulfa?"
Zulfa berdiri pelan, memeluk Rafa erat.
"Aku hanya ingin melihat anakku. Apa itu terlalu berlebihan?"
"Anakmu? Sejak kapan kau mengklaim Rafa di hadapan publik? Yang selama ini membesarkannya Nafisah, bukan kau."
"Ya... dan aku bersyukur Nafisah merawatnya dengan cinta. Tapi darah yang mengalir di tubuh Rafa adalah darahku. Dan tak ada yang bisa mengubah kenyataan itu."
Stephano menatap Marcello tajam. "Kau membiarkannya masuk? Setelah semua kekacauan ini?"
"Ayah... cukup. Berhentilah memperlakukan semua orang seperti bidak dalam permainanmu."
Stephano mendengus.. "Jangan bicara seolah-olah kau tak pernah melakukan kesalahan, Marcello."
"Kalian sibuk menyalahkan satu sama lain, tapi ada anak kecil yang sedang sakit di sini. Rafa tidak butuh ambisi kalian. Dia butuh ketenangan. Cinta. Dan rumah yang tak lagi dibangun dari kebohongan." kesal Zulfa menatap keduanya.
Stephano terdiam sesaat. Pandangannya jatuh pada Rafa yang tidur dengan wajah lelah, namun tenang.
Marcello melangkah mendekat. "Dia bukan hanya masa depan perusahaan, Ayah. Dia juga anakku... dan Zulfa—dia ibunya. Tak peduli kau setuju atau tidak, dia bagian dari hidup kami."
"Kau seharusnya tidak di sini, Zulfa. Kau sudah membuat janji." tegas Stephano.
"Janji untuk meninggalkan Marcello? Aku tepati. Tapi aku tak pernah berjanji untuk meninggalkan anakku."
Stephano menahan emosi, mendekat. "Kau tahu syaratnya. Setelah semua yang terjadi... kau dan Marcello sudah tidak mungkin. Minggu depan, dia akan menikah dengan Valeria. Segalanya sudah diatur. Undangan sudah tersebar."
"Apa?!" Marcello dengan wajah terkejutnya.
"Kau diam. Ini keputusan terbaik untuk perusahaan, untuk reputasimu. Jangan ulangi kegagalan yang sama."
Zulfa menggenggam ujung selimut Rafa erat. "Jadi semua ini... hanya permainan? Perasaan orang lain tak lebih dari pion untuk bisnis kalian?"
"Jangan bersikap seolah kau tak pernah ikut bermain." Lagi, Stephano mengingatkan Zulfa. "Kau tahu sejak awal, kau bukan pilihan yang pantas untuk Marcello. Bahkan ketika dia terpuruk, kau tetap meninggalkannya."
"Ayah, hentikan! Aku mencintai Zulfa. Aku tak pernah mencintai Valeria. Dan aku tidak akan menikahinya hanya karena tekanan!"
Stephano menunjuk Marcello, suaranya bergetar oleh amarah.
"Perasaanmu tak lebih penting dari kestabilan nama keluarga ini!"
Zulfa berusaha menahan air mata, namun tetap tegar. "Kalau begitu... biarkan aku pergi. Aku datang bukan untuk Marcello, tapi untuk Rafa. Anak yang kalian semua rebutkan hanya karena nama, padahal yang ia butuhkan hanyalah cinta."
Zulfa menatap Rafa sejenak, tak lupa mencium keningnya dengan lembut hingga tatapan kesedihannya beralih menatap Stephano. "Aku akan pergi setelah ini. Aku hanya ingin dia tahu... ibunya pernah datang. Tapi jangan larang aku untuk kembali saat dia memanggilku lagi."
Stephano tak menjawab.
Marcello, dengan tatapan penuh sesal, hanya mengangguk pelan. "Aku yang akan mengantarmu pulang."
Zulfa menggeleng. "Tidak usah. Kali ini, aku bisa sendiri."
Zulfa keluar ruangan hingga pintu itu kembali tertutup. Di belakang, Marcello hanya bisa memandang punggung wanita yang pernah ia hancurkan... tapi mungkin, diam-diam, masih ingin ia selamatkan.
Zulfa melangkah menuju pintu, tapi sebelum keluar, ia menoleh pada Stephano.
"Aku tidak butuh restumu. Tapi Rafa butuh kejujuran. Dan suatu hari nanti, dia akan tahu siapa yang benar-benar peduli padanya."
Zulfa keluar dari ruangan, meninggalkan udara tegang yang membeku. Marcello menatap pintu yang kini tertutup, sementara Stephano hanya diam, rahangnya mengeras.
Dalam hati, keduanya tahu: badai sesungguhnya belum dimulai.
❤️❤️❤️
Halo aku kembali update.
Bagaimana chapter kali ini?
Makasih ya udh baca. Oh iya insyaallah kalau tidak ada kendala Kukira Kau Tempat Ternyata Luka akan di pinang penerbit.
Doakan lancar ya. See U next lusa 🩷
Instagram lia_rezaa_vahlefii
Next Chapter 57. Klik link di bawah ini :
https://www.liarezavahlefi.com/2025/09/chapter-57-milik-siapa-luka-ini.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar