Malam telah larut. Kota seperti beristirahat, namun tidak dengan Valeria.
"Jika aku tak bisa memiliki Marcello, maka tak akan ada seorang pun yang layak berdiri di sisinya," bisik Valeria pelan.
Di sisi lain..
Notifikasi email yang berasal dari ponsel Stephano berbunyi. Stephano langsung membuka ponselnya. Ia yang tadinya diam melihat cucunya Rafa yang sedang bermain langsung terkejut memandangi foto-foto itu dengan ekspresi murka.
"Ini yang kau lakukan setelah aku memberimu kesempatan mengurus perusahaan?!" gumamnya sambil mengepalkan tangan.
Tak lama kemudian..
Dalam waktu dua hari, rumor menyebar seperti api membakar ladang kering. Teman-teman dekat Marcello mulai menjauh. Beberapa investor menarik kerja sama dengan stephano. Wartawan mulai menanyakan isu-isu pribadi dengan nada tajam apalagi Stephano sedang tidak di rumah, melainkan di penthaouse Eloisa bersma cucunya.
Marcello, yang tengah sibuk menata ulang hidupnya demi Zulfa dan Rafa, tidak menyadari jebakan ini hingga semuanya mulai runtuh satu per satu. Ponselnya berdering tanpa henti.
"Marcello, aku harus tarik dananya dulu sampai semuanya jelas."
"Kenapa kau tidak bilang soal wanita-wanita itu?"
"Stephano murka. Ia bilang tak ingin lagi namamu tercantum di bawah nama perusahaan."
Marcello terdiam di ruang kerjanya. Napasnya sesak. Ia mencoba menjelaskan, namun tak ada yang mau benar-benar mendengarkan. Semua bukti telah berbicara, meski semua itu... palsu.
❤️❤️❤️
Malam menyelimuti rumah kecil tempat Zulfa tinggal sementara, jauh dari hiruk-pikuk kota dan kenangan yang tak ingin ia sentuh kembali.
Angin dari celah jendela mengibaskan tirai tipis, menyentuh pipinya yang dingin dan pucat. Di hadapannya, ponsel menyala—layar kecil itu menyimpan dunia yang dulu sempat ia tinggalkan.
Zulfa membuka ponselnya dan sosial media. Awalnya hanya iseng—mengusir sepi yang makin menggigit. Tapi begitu jarinya menggulir, beranda media sosialnya seperti berubah menjadi ladang ranjau yang siap meledakkan luka-luka lama.
Sebuah akun gosip bisnis memuat headline mencolok:
"Bos Muda anak dari Stephano seorang pengusaha bernama Marcello. Diduga Terlibat Skandal Korupsi dan Perselingkuhan. Bukti Rekaman & Foto Beredar."
Zulfa menegang. Tangannya refleks berhenti menggulir. Ia membaca perlahan, seolah otaknya menolak menyerap tiap kata.
Ada potongan video—Marcello berbicara dengan pria bersetelan jas gelap. Tidak ada audio, hanya teks narasi dari pihak yang mengunggah.
"Inilah bukti transaksi gelap dengan pihak luar negeri yang bisa mengancam kredibilitas Stephano Group."
Lalu potongan gambar lain muncul:
Marcello dan seorang wanita yang sangat mirip Valeria di sebuah restoran. Diambil dari kejauhan, dengan angle yang memperlihatkan keintiman yang sengaja dibuat ambigu.
Komentar-komentar pun bermunculan:
"Ternyata cowok ini lebih kotor dari yang kita kira."
"Playboy korporat. Tapi wajahnya bikin susah percaya dia bajingan."
"Gaya doang kalem, ternyata begini aslinya."
Zulfa menggenggam ponselnya erat. Matanya mulai berkaca-kaca, bukan karena percaya... tetapi karena hatinya terombang-ambing antara luka dan naluri.
"Marcello... ini beneran kamu?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Ia meletakkan ponsel itu ke atas meja, kemudian berdiri dan berjalan menuju jendela. Di luar, hujan mulai turun pelan. Seolah alam ikut meneteskan air matanya.
"Aku tahu dia pernah menyakitiku... sangat. Tapi aku juga tahu cara dia menggenggam tanganku di rumah sakit. Cara dia meneriakiku saat aku pingsan, seolah tak ingin kehilangan."
"Aku tidak percaya dia bersih. Tapi aku juga tidak percaya semua ini nyata.
Apa ini cara semesta membuatku kembali benci padanya?"
Zulfa menatap bayangannya sendiri di jendela yang berkabut. Wajah lelah, mata yang menyimpan trauma dan harapan yang bertarung hebat.
❤️❤️❤️
Langit Jakarta di malam hari, jendela-jendela tinggi menampakkan kerlap-kerlip lampu kota. Udara di dalam ruangan terasa dingin, bukan karena suhu, tapi karena atmosfer dua pria yang telah lama tidak saling bertatap wajah sebagai ayah dan anak.
Marcello berdiri membelakangi pintu kaca yang menghadap ke balkon. Tangannya dimasukkan ke saku celana, rahangnya mengeras.
Sementara itu, Stephano masuk perlahan dengan setelan abu-abu mahal, tetapi kehadirannya seperti kabut hitam yang menghantui. Stephano berhenti di tengah ruangan, nadanya pelan namun tajam
"Kau makin mirip ibumu saat diam seperti itu. Pandangan matamu... menyalahkanku, kan?"
Marcello menoleh perlahan, tatapannya tajam namun penuh luka
"Aku tidak menyalahkanmu, Ayah. Aku hanya menyesal karena pernah berharap padamu."
Stephano terdiam. Ia menghela napas, lalu berjalan ke arah meja dan menuangkan minuman ke dalam gelas kristal. Ia menawarkannya pada Marcello, tapi Marcello mengangkat tangan, menolak.
"Kau pikir aku tidak tahu kabar tentang bocah itu? Rafa."
Marcello menatap ayahnya, ekspresinya berubah tajam. "Jangan sebut nama anakku dengan nada seperti itu. Dia bukan bagian dari permainan kotormu."
Stephano tersenyum miring. "Permainan? Dunia ini adalah permainan, Marcello. Dan aku memastikan kita tetap bertahan. Kau pikir perusahaanku bisa tetap berdiri tanpa mengorbankan sesuatu?"
"Termasuk menjual anakmu sendiri? Memaksa aku menikahi Valeria demi utang budi pada ayahnya? Kau tidak pernah melihatku sebagai anak, tapi sebagai alat. Dan sekarang, kau datang ingin mengakui Rafa hanya karena dia pewaris?"
Stephano meletakkan gelasnya dengan keras di atas meja kaca. "Pewaris atau bukan, dia tetap darahku! Jangan ajari aku tentang keluarga. Aku lakukan ini semua demi kelangsungan kita!"
"Kelangsungan siapa, Ayah? Kita? Atau egomu yang tak mau jatuh meski harus menginjak siapa pun?"
Diam sesaat. Ketegangan menggantung, sampai akhirnya Stephano berkata pelan, nyaris bisikan. "Kau tidak tahu apa yang kukorbankan agar kau tetap bisa hidup nyaman... dan kau berani menghakimiku?"
Marcello dengan suara bergetar, menatap langsung ke mata ayahnya "Aku lebih memilih hidup susah... daripada hidup di bawah bayang-bayang pria yang tak tahu arti cinta pada keluarga." Marcello mengambil jasnya, bersiap pergi.
"Jika kau keluar dari sini, kau bukan bagian dari keluarga ini lagi!"
Marcello berhenti di ambang pintu. Ia menoleh, matanya penuh luka—tapi juga tekad.
"Aku sudah kehilangan segalanya. Zulfa. Rafa. Dihancurkan Valeria dan Ayag. Sekarang... kehilangan nama belakang bukan apa-apa. Karena aku tahu... untuk pertama kalinya dalam hidup, aku bukan lagi milikmu. Tapi milik keluargaku sendiri."
Marcello pergi meninggalkan penthouse. Pintu tertutup. Stephano berdiri diam. Sorot matanya tidak sepenuhnya marah. Tapi kosong. Seperti pria yang tahu... ia baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dibeli dengan kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar