Apartemen Casanova. Pukul 05.00 pagi. Jakarta Utara. Sebulan Kemudian.
Sudah sebulan berlalu. Ketika mengetahui Afrah sudah tiada, aku benar-benar hancur. Hancur segala-galanya. Aku menyesal. Aku menyesal sudah melukai hatinya. Aku menyesal sudah mendzoliminya. Bahkan aku menyesal sudah memfitnahnya.
Bayangan wajah Afrah selalu terngiang-ngiang di benakku. Senyuman Afrah dan wajahnya yang cantik selalu membuatku rindu. Tak hanya itu, cara dia mengomeliku karena mengkhawatirkanku membuatku juga merindukannya.
Marahnya dia itu marah sayang. Cerewetnya dia itu cerewetnya sayang. Saking sayangnya, dia tidak ingin aku sampai kenapa-kenapa walaupun hanya sebesar biji kacang.
Dengan tidak semangat aku berjalan kearah lemari. Aku membukanya dan bersiap meraih kemeja putih. Tanganku terulur meraih pakaian kerjaku. Tapi tatapanku terhenti menatap pakaian Afrah yang masih tergantung disana.
"Mas?"
Aku menoleh kesamping. Aku terkejut aku syok.
"Afrah kangen."
"A-afrah?"
"Afrah kangen. Pengen peluk Mas."
"Afrah?"
"Kenapa lama sekali tidak ada kabar? Apakah Fara membuat Mas bahagia?"
"A-afrah, ka-kamu."
"Maafin Afrah. Afrah bukan istri yang baik. Afrah bukan istri sebaik Fara. Tolong ridhoi Afrah agar Afrah tidak masuk neraka."
Aku tidak sanggup menatap wajahnya yang begitu sendu. Aku memalingkan wajahku ke samping. Tubuhku tak berdaya.
Ya Allah, kamu istri terbaik yang Allah berikan padaku Afrah. Kenapa kamu masih saja menyalahkan dirimu sendiri? Justru aku lah yang sudah bersalah dan dzolim padamu.
Aku memejamkan kedua mataku. Suasana hening. Lalu aku memberanikan diri membuka kedua mataku. Dia sudah tidak ada.
Aku menghela napas panjang. Rupanya tadi hanya halusinasiku saja.
Dia seperti nyata. Tapi secara tidak langsung seperti teguran buatku yang memang sudah salah sejak awal. Ya aku menyadari hal itu.
Promo Ebook Better With You Hanya Rp.250,- (Bersyarat) Klik Disini
Dia seperti nyata. Tapi secara tidak langsung seperti teguran buatku yang memang sudah salah sejak awal. Ya aku menyadari hal itu.
Promo Ebook Better With You Hanya Rp.250,- (Bersyarat) Klik Disini
Deringan ponselku berbunyi. Semua pemikiran tentang Afrah aku tepis sejenak ketika nama Rezki terpampang di layarnya.
"Asalamualaikum Pak?"
"Ya Wa'alaikumussalam. Ada apa?"
"Cuma mau bilang Pak. Pagi ini ada wawancara eksklusif dengan wartawan mengenai klarifikasi kasus pelanggaran kode etik penayangan di siaran milik kita waktu itu."
"Oke."
"Kok lemes Pak?"
"Apanya?"
"Bapak itu loh. Suaranya kayak orang tidak bersemangat. Lagi lapar ya Pak? Minta sama Fara Pak kalau belum sarapan."
Aku mendengkus kesal. Rezki kalau bicara memang tidak pernah di filter.
Semenjak kejadian di Samarinda sebulan yang lalu, dia sering mengejekku tentang beristri 2.
Semenjak kejadian di Samarinda sebulan yang lalu, dia sering mengejekku tentang beristri 2.
"Pak."
"Apalagi?!" ucapku kesal.
"Saya turut bersedih atas kepergian istri Bapak."
"Iya. Terima kasih. Asalamualaikum."
Dengan lemah aku mematikan panggilan itu. Aku malas meladeni Rezki yang menyebalkan. Aku memegang dahiku yang terasa demam. Akhir-akhir ini tubuhku memang tidak fit.
Semenjak dulunya ada Afrah, dia selalu memastikan diriku baik-baik saja. Dimulai dari makanan yang aku konsumsi dan lainnya sampai akhirnya, sekarang dia benar-benar pergi dari dunia ini.
"Afrah. Aku sudah terlambat mengucapkan kata maaf padamu. Semoga kamu tenang disana. Aku meridhoimu."
****
D'Media Corp. Jakarta Utara. Pukul 11.00 siang.
Aku menatap laporan keuangan bulan ini. Alhamdulillah semua sudah kembali normal seperti biasanya. Kasus pelanggaran kode etik penyiaran waktu itu sudah diatasi dengan baik.
Allah membantuku melalui Mr. Hidekiyoshi yang waktu itu mempercayaiku dengan menanam sahamnya diperusahaanku.
Aku baru saja membubuhi tanda tangan laporan keuangan. Tanda bahwa aku sudah mengeceknya. Lalu aku menyerahkannya pada Rezki.
"Terima kasih Pak."
"Sama-sama."
"Pak?"
"Ya?"
"Bapak, em maksud saya Bapak baik-baik saja kan? Wajah Bapak pucat."
"Saya sedang tidak enak badan. Itu saja."
"Yakin Pak? Bukan lagi puyeng karena punya istri 2 kan?"
"Mending kamu diam saja Rez."
"Makanya Pak. Kalau tidak bisa adil mending satu istri saja. Nanti di akhirat Bapak timpang loh karena tidak adil. Rezeki seret."
"Rez-"
"Bapak sih, sok banget. Mentang-mentang kaya macam sultan mau seenaknya punya istri dua. Jangan belagu Pak. Ini saran saya loh. Saya ini sekertaris Bapak. Saya mah blak-blakkan sama Bapak."
"REZKI!"
"Iya deh Iya Pak. " Dengan santai Rezki malah menyengirkan bibirnya. "Maafin saya Pak. Sudah jangan marah-marah. Nanti gantengnya kalah loh sama Ustadz Ahmad yang lagi on air di studio 3."
Rasanya aku ingin melempar Rezki saat ini juga pakai pentofel kalau saja aku tidak ingat kinerja dia yang luar biasa.
"Saran saya Bapak pulang. Istirahat. Biar saya yang ngerjain semua pekerjaan Bapak untuk sementara waktu. Kalau ada yang kurang jelas, nanti saya bisa minta tolong sama Pak Amran. Saya akan menghubungi beliau."
Aku menatap Rezki yang khawatir padaku. Dia benar. Sepertinya aku butuh istrirahat. Tubuhku juga serasa menggigil dan meriang.
Jangan sampai penyakitku parah. Aku sudah tidak memiliki istri. Jadi aku memilih untuk beranjak dari dudukku bersiap untuk pulang. Aku hanya butuh istrirahat total sekalipun itu akan membuatku galau karena tidak ada lagi sosok Afrah yang akan merawatku.
"Pak."
Aku menghentikan langkahku. "Apa lagi?"
Rezki kembali menyodorkan sebuah berkas kearahku. "Kata Ibu Shena Bapak minta biodata karyawan 10 tahun yang lalu atas nama Afrah Amirah kan?"
Aku tak banyak kata dan menerima berkas tersebut. Aku tersenyum miris. Ternyata wajahnya sangat beda. Ini foto dia waktu belum memakai cadar dan tentunya sebelum dia melakukan operasi plastik diwajahnya.
"Dunia ini sempit ya Pak. Namanya kok sama ya kayak istri Bapak. Afrah Amirah."
Aku tidak menanggapi Rezki lagi setelah mengembalikan berkas riwayat hidup Afrah ke Rezki. Sebuah riwayat hidup dimasalalu saat Afrah masih bekerja disini dengan pimpinan mendiang Devika. Lebih tepatnya bekerja bersamaan dengan Reva.
Dan aku tidak tahu apakah Afrah dan Reva sudah saling mengenal atau tidak saat bekerja disini.
Aku sadar aku memang salah. Aku terlalu fokus dengan puzzle itu. Tapi aku lupa dua hal. Mencari tahu apakah Afrah anak kandung atau tidak dan mencari biodata Afrah saat dulunya bekerja disini.
****
Apartemen Casanova. Pukul 22.00 malam. Keesokan harinya.
"Mas."
"Hm?"
"Sini, minum madu hangat. Ini ikhtiar supaya tubuh Mas tetap fit."
"Nanti saja Afrah. Aku masih sibuk."
"Mas sayang.."
"Mas itu kepala rumah tangga. Mas itu bekerja siang malam. Ngumpulin rezeki. Jangan sampai sakit."
"Tapi Afrah-"
"Tolong hargai Afrah. Afrah ini amanah Allah buat Mas. Afrah wajib merawat Mas."
Tubuhku semakin panas. Suhu tubuhku sudah 37 derajat. Dan lagi, bayangan masalalu membuatku terpukul. Dulu Afrah rutin membuatkanku madu hangat. Tapi sekarang..
Aku seperti seorang pria tak terurus tanpa adanya istri. Dengan lemah aku berdiri. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku ingin kedapur meminum segelas air. Dengan langkah yang tertatih, aku memperhatikan seluruh ruangan apartemenku.
Sangat-sangat berantakan.
Begitu miris nasib seorang suami pekerja kantoran seperti diriku yang biasanya dirawat sama istri apalagi tidak mengerti seluk beluk urusan pekerjaan rumah tangga. Jangankan itu, sejak tadi saja aku belum makan apapun.
Aku tidak bisa memasak. Memesan makanan melalui orderan online sepertinya tidak mungkin. Sudah 1 bulan perutku diisi dengan makanan siap saji.
Ponselku berdering didalam saku celana tidur panjangku. Aku menatap nama Bunda.
"Asalamualaikum. Iya Bun?"
"Wa'alaikumussalam. Fik, kamu baik-baik saja Nak?"
"Ya, Fikri sedang tidak sehat."
"Ya Allah, bayi besar Bunda. Jadi sekarang gimana? Sudah berobat? Sudah makan?"
"Bunda-"
"Ya Allah, pantas saja sebulan ini kamu tidak ada kabarnya. Kalau gitu malam ini Bunda pesan tiket buat ke Jakarta ya."
"Tidak perlu Bun. Fikri baik-baik saja. Insya Allah akan sembuh dengan sendirinya."
"Yakin? Bunda khawatir loh. Afrah ya gitu, jadi menantu kok tidak kabarin Bunda sih kalau bayi besarnya sakit."
"Bunda juga khawatir. Sudah 1 bulan mertua kamu tidak merespon panggilan Bunda. Apakah mereka sudah tahu yang sebenarnya? Afrah juga jarang hubungin Bunda. Dulu sering. Malahan hampir tiap hari. Bunda jadi kangen sama Afrah."
Aku menghela napas panjang. "Bun, please. Jangan mengada-ada Afrah sudah tiada mana mungkin-"
"Sudah tiada apanya?! GUNDULMU itu!"
"Maksud Bunda?"
Tiba-tiba jantungku deg-degan. Rasa sakit didalam tubuhku rasanya sudah teralihkan.
"Lah Bunda itu tadi pagi habis telponan sama Afrah. Nomor ponselnya nomor baru Fik. Waktu Bunda telpon Afrah, istri kamu itu lagi dirumah tetangga. Katanya lagi minta mangga gara-gara ngiler lihat mangga muda yang asem-asem dipohon."
"A-apa? Te-tempat tetangga? Be-berarti. Afrah.. Afrah.."
"Kenapa kamu jadi kayak orang panik sih?"
"Halo?"
"Halo? Fik?"
Aku tidak banyak berkata-kata lagi setelah itu. Detik berikutnya aku langsung keluar apartemen. Dengan cepat aku memasuku lift menuju lantai lobby. Aku keluar jalanan hanya untuk menyetop taksi.
Ya Allah.
Masya Allah.
Afrah..
Afrahku..
Istriku.. dia.. dia
Dia masih ada.
Taksi berhenti tepat didepanku. Aku sudah duduk di kursi belakang taksi blue bird. Aku juga tidak mengerti ntah kenapa air mataku lolos begitu saja dan mengalir di pipiku.
Kalau bisa terbang, mungkin aku akan menyuruh supir taksi ini menerbangkan taksinya agar cepat. Supaya kami bisa sampai kerumah Afrah.
Ya Allah.
Afrahku..
****
Siapa disini yang sudah bernapas lega
😆
Makasih yg sudah rela menangis demi Afrah sejak kemarin ❤️
Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian. Moga gak kapok author baperin.
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
LiaRezaVahlefi
Instagram
lia_rezaa_vahlefii
lia_rezaa_vahlefii
Wattpad khusus Fiksi remaja Lia_Reza_Vahlefi
Lanjut Chapter 53, KLIK LINK NYA DI BAWAH INI :
Seneng bgt akhirx bisa baca lanjutan ceritax,,,
BalasHapus