Selasa, 21 Januari 2020

Chapter 54 : Fikri ( Kepergiannya )






D'Media Corp. Pukul 17.00 sore. Jakarta Utara.
Aku memasuki lift dan kotak besi ini membawaku kelantai lobby. Kondisiku kesehatanku sudah sedikit mendingan daripada kemarin. Ntah kenapa setelah Allah mentakdirkan Afrah pulang bersamaku tadi malam semua rasa sakit ditubuhku serasa hilang.
Ting. Pintu lift terbuka. Situasi perusahaan masih ramai meskipun sudah menunjukkan pukul 17.00 sore. 
Beberapa pekerja yang lalu lalang seperti biasa menyapaku dengan hormat.
Dari jarak beberapa meter aku melihat dua orang pria yang merupakan artis entertainment. Aku tahu 1 jam lagi mereka akan on air acara reality show di studio 5.
"Fikri!"
Aku menoleh kesamping. Aku terkejut kalau yang memanggilku Reva?
"Reva?"
Reva sudah berdiri dihadapanku. Dia tersenyum tipis. Diantara kami, sudah tidak ada lagi masalah karena aku sudah memaafkannya.
"Ada apa Rev?"
"Jangan panggil aku Reva. Aku sudah ganti nama. Fara, Fara Azizah. Oke?"
"Oh iya lupa."
"Fik, coba lihat deh."
Fara mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan padaku.
"Menurutmu desain undangan pernikahan ini bagus yang mana?"
"Apapun yang kamu pilih, aku menyukainya Rev."
"Fara Fik, Fara!"
"Oh iya lupa."
Fara mendengkus kesal. "Yaudah. Kalau gitu aku pilih yang ini." tunjuknya ke salah satu desain bermotif gold. "Ini bagus."
"Terserah. Kenapa bahas hal ini tidak melalui WhatsApp saja sih?" tanyaku padanya.
"Aku tidak enak sama Afrah Fik. Kebetulan sore ini aku mau kesana, mau request model undangannya. Tempatnya satu arah sama perusahaan kamu. Ya, maksudku sekalian gitu. Bukankah sejak dulu kita saling meminta pendapat."
Aku bersedekap dan tertawa geli. "Ya, kamu benar. Oh iya, jadi siapa calon suami kamu?"
"Ck, mau tahu saja. Sudah ya, aku pergi."
"Oke. Hati-hati. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam Fik."
Aku melanjutkan tujuanku yang ingin pulang kerumah. Tapi tiba-tiba aku menghentikan langkahku, aku syok. Aku tidak menyangka kalau dari jarak beberapa meter Afrah berdiri melihatku.

Promo Ebook Better With You Hanya Rp.250,- (Bersyarat) Klik Disini 
Apakah dia tidak meminta izin padaku sebelumnya saat keluar rumah apalagi mendatangiku? Lalu aku teringat ponselku. Ya Allah, aku tidak tahu kalau ponselku tidak aktip.
Dengan cepat aku menghidupkan ponselku sambil berjalan mencari keberadaan Afrah yang sudah hilang ntah kemana.
Ponselku sudah menyala. Aku melihat daya batrainya sudah berwarna merah. Lalu beberapa notif pesan singkat dari Afrah muncul.
Sayang ; "Mas, sudah sehat?"
Sayang : "Bolehkah Afrah menjemput Mas?"
Sayang : "Mas tolong balas."
Sayang : "Afrah otw kesana ya."
Dengan cepat aku mengantongi ponselku. Aku mencari lagi keberadaan Afrah yang sudah tidak ada.
****
Apartemen Casanova. Pukul 20.00 Malam. Jakarta Utara.
Aku menatap Afrah yang sedang mual-mual. Sudah sehari semalam dia seperti itu. Kata Dokter itu adalah hormon morning sickness. Usia kehamilan Afrah sudah mencapai 4 Minggu.
Afrah menuju kamar mandi dan berdiri didepan wastafel. Afrah mual-mual tanpa mengeluarkan makanan yang terisi didalam perutnya. Hanya air liur bening.
"Afrah.."
Aku memijit punggungnya dengan pelan. Lalu Afrah menoleh menatapku. Tatapannya begitu datar.
"Jauhi aku Mas."
Aku terkejut. "Kamu sakit, dan kamu nyuruh aku menjauhi kamu? Tidak!"
"Mas-"
"Ayo sini, aku obatin. Kemarin aku sakit kamu rawat aku. Sekarang gantian-"
"Pergi Mas. Pergi!"
"Kok kamu usir aku sih? Aku suamimu yang tampan loh sayang."
"Percuma tampan tapi nyakiti perasaan wanita."
Seketika aku terdiam. Skakmat. Aku mencoba sabar. Apalagi saat ini Afrah berlalu meninggalkanku dan menuju dapur.
Afrah mulai mengiris bawang, sayur, dan beberapa bahan makanan lainnya. Lalu Afrah menyalakan kompor dan menuangkan minyak goreng di wajan.
"Jangan memasak. Kamu sedang tidak sehat." dengan cepat aku mematikan kompornya.
Dan lagi, Afrah menatapku datar. Raut wajahnya benar-benar jutek.
"Kenapa kompornya dimatiin? Afrah mau memasak."
"Afrah..."
"Setelah menikah, status Afrah berubah menjadi ibu rumah tangga.  Pekerjaan Afrah adalah memasak, mengurus rumah dan mengurus keperluan suami. Ketika makan malam tiba, Afrah wajib menyiapkannya untuk Mas."
"Tapi Afrah, kamu lagi sakit."
"Afrah memang sakit. Tidak hanya fisik. Tetapi hati juga sakit. Jadi jangan mengkhawatirkan Afrah. Afrah sudah biasa diginiin."
Aku terdiam. Afrah benar. Aku memang menyakitinya dan aku menyesali hal itu. Aku melihat Afrah yang tetap memasak. Sementara dia mual-mual sambil menutup hidung. Wajahnya pucat. Dahinya saja berpeluh.
"Mulai besok kita memesan makanan diluar atau aku akan mencari asisten rumah tangga sementara waktu selama kamu hamil."
Afrah tidak menjawab. Dia tetap tidak memperdulikanku. Dia sibuk membuat nasi goreng. Bermenit-menit berlalu, Afrah tetap diam seolah-olah mengabaikanku. Sejak kepulangannya kembali, dia menjauhiku, jutek padaku, bahkan banyak menolak saat aku membantunya.
"Afrah.. ayolah jangan begini."
Afrah menatapku kesal. "Jangan deket-deket Afrah."
"Kenapa?"
"Kalau Mas deketin Afrah, Afrah pengen mual. Bawaannya kesel terus. Menjauhlah."
"Jangan membohongiku."
"Apakah selama ini Afrah berbohong sama Mas? Siapa disini yang pembohong?"
Aku meneguk ludahku sendiri dengan gugup. Aku tidak bisa mengelak. Sindiran yang tepat buatku. Aku menghela napas panjang dan mengacak-acak rambutku dengan frustasi.
Afrah pun menyajikan nasi goreng komplit dengan telor mata sapi, suwiran ayam goreng dengan taburan sayur sawi diatasnga. Tak hanya itu, sekarang dia malah menyempatkan diru membuat waffle coklat dan es teh.
"Afrah, tolong jangan diamkan aku."
"Afrah sedang sibuk. Jadi tolong jangan menganggu Afrah juga."
"Tapi-"
"Dan terima kasih atas tawaran Mas tadi mengenai asisten rumah tangga atau membeli makanan diluar. Tapi maaf, kehamilan tidak ingin Afrah jadikan sebagai alasan untuk tidak bisa melakukan apapun."
Aku membantu Afrah menyajikan makan malam kami diatas meja makan.
"Tapi aku tidak ingin kamu kelelahan. Itu saja."
"Lelah mengurus rumah tangga adalah salah satu lelah yang disukai Allah dan Rasulullah. Afrah tidak ingin mengabaikan pahala itu."
"Afrah-"
"Termasuk ketika sabar menghadapi suami yang menyakiti istrinya."
Afrah menatapku dengan kedua matanya berkaca-kaca. Aku tidak ingin menunda lagi hanya untuk mencegah lengannya. Tatapan kami bertemu.
"Kenapa kamu masih saja marah padaku dan tidak mau memaafkanku? Bahkan kemarin aku rela menempuh ratusan kilo meter demi bertemu denganmu."
"Jangan lebay Mas. Yang benar puluhan meter."
"Tidak kasihan padaku?"
"Apakah Mas sendiri tidak kasihan sama Afrah selama ini?"
Air mata menetes di pipinya. Aku hendak menghapusnya tapi dia menolak.
"Afrah memang memaafkan Mas. Tapi Afrah cemburu. Afrah cemburu dengan Fara ketika melihatnya tadi sore bersama Mas. Dia istri kedua Mas yang membuat Mas nyaman. Tidak seperti Afrah yang banyak kekurangan."
"Percayalah padaku. Pernikahan itu tidak terjadi."
"Sayangnya kepercayaan itu sudah tiada. Hanya satu tujuan Afrah kenapa saat ini Afrah bisa bertahan."
Tiba-tiba Afrah mendekatiku. Dengan perlahan dia meraih telapak tangannya dan mengarahkan ke perutnya yang masih rata.
"Calon amanah Allah yang sedang berkembang didalam sini."
Ntah kenapa aku terbawa suasana. Aku menangkupkan kedua pipinya. Aku mencium keningnya dengan lembut. Kami saling menempelkan dahi.
"Dan surga yang Afrah rindukan." bisik Afrah pelan. "Meskipun hati Afrah sakit dan terluka. Tapi sebagai seorang istri untuk suami, pahala terbesarnya adalah cinta dan pengabdiannya pada seorang suami." 
Lalu dengan perlahan, Afrah malah memundurkan langkahnya. Wajahnya sudah pucat. Hatiku rasanya sakit penuh penyesalan. Kenapa aku baru menyadari kalau dia istri yang kuat dan penyabar itu baru sekarang? Syaitan berhasil menggodaku untuk berbuat dzolim padanya.
"Tolong malam ini Mas makan. Afrah lagi tidak enak makan. Afrah lelah. Lelah pikiran dan perasaan."
Afrah pun pergi meninggalkan diriku di dapur. Aku menatap semua masakan Afrah yang terhidang diatas meja.
Air mata menggenang di sudut mataku. Amanah dari Allah telah aku sakiti. Istri sebaik Afrah ketika sedang terluka, tetapi dia tetap melayaniku dengan baik dan sempurna.
Dan aku menyesal. Ya Allah, maafkan aku.
****
Apartemen Casanova. Pukul 03.00 pagi. Jakarta Utara.
"Mas?"
"Ya?"
"Afrah minta maaf."
"Kenapa minta maaf?"
"Belum menjadi istri yang baik."
"Kamu adalah istri yang baik. Tidak perlu meminta maaf."
"Apakah Mas meridhoi Afrah malam ini?"
"Ya, aku ridho."
"Apakah masakan tadi tidak enak? Mas sudah makan? Sudah minum obat juga? Em, bila masakan tadi tidak pas di lidah, Afrah bisa membuatnya lagi. Afrah tidak ingin Mas tidur dalam keadaan lapar."
"Semuanya sudah aku lakukan. Sekarang aku tanya sama kamu."
"Tanya apa?"
"Kamu tidak ingin sesuatu?"
"Ada satu hal yang Afrah inginkan sejak 2 Minggu yang lalu."
"Maksud kamu ngidam? Kalau iya, katakan saja."
"Afrah ngidam ingin dipeluk Mas saat tertidur dan Afrah ingin Mas mengusap perut Afrah dengan pelan."
"Itu saja?"
"Iya Mas."
Waktu sholat sepertiga malam akhirnya tiba. Aku terbangun. Sayup-sayup aku membuka kedua mataku. Aku terdiam menatap Afrah yang kini tertidur pulas. Aku mencium keningnya hingga dia terbangun.
"Sudah sepertiga malam."
"Iya Mas. Afrah akan segera ambil air wudhu."
Aku hanya mengangguk. Lalu aku menatap kepergiannya. Dan lagi, dia kembali mual. Tubuhnya sedikit berkurus karena dia susah makan selama hormon kehamilan itu ada.
Aku melihat dia seperti itu rasa penyesalan karena menyakiti hatinya semakin membuatku tersiksa.
****
Keesokan harinya. Jakarta Utara, pukul 12.00 siang.
Jam istrirahat tiba. Sebentar lagi Afrah akan mengantar makan siang ke perusahaanku hari ini. Aku sudah mengatakannya tidak perlu repot-repot. Tapi seperti yang sudah-sudah, dia tetap memastikan aku makan siang dengan baik. Pintu terbuka lebar, aku pikir Afrah. Ternyata Fara.
"Asalamualaikum Fik."
"Wa'alaikumussalam. Fara?"
"Apakah aku menganggu?"
"Tidak. Kebetulan sekarang jam istrirahat."
"Oh iya, aku mau kasih undangan nih ke kamu."
"Wah, wah, akhirnya kamu sold out juga ya."
"Ya Alhamdulillah deh. Setelah kamu phpin aku selama 10 tahun."
Lalu kami tertawa geli. Ya dia benar. Tapi sayangnya aku tidak menyukainya wanita keras kepala itu.
"Oh iya, ini undangan kamu. Kebetulan aku sudah mengundang semua rekan kantor disini. Jadi-"
Pintu terbuka lagi. Aku dan Fara terkejut. Ayah mertuaku berdiri disana dengan raut wajah menahan amarah.
Dengan tatapan tidak bersahabat dia memasuki ruanganku. Tanpa diduga dia melemparkan sebuah berkas ke meja kerjaku dengan kasar.
"Ayah-"
"Itu surat hak milik restoranmu. Saya tidak bisa menerimanya lagi."
Aku terkejut. "Tapi Ayah, bukankah saya sudah berniat memang memberikan restoran ini untuk Ayah sebulan yang lalu?"
"Iya kamu benar." Ayah menatapku sinis. "Tapi saya tidak bisa menerima restoran dari pria yang sudah mengkhianati istrinya."
Aku terdiam. Tanganku terkepal. Raut wajahku gusar. "Percayalah padaku, pernikahanku dan Fara tidak terjadi." Aku beralih menatap Fara. "Fara tolong katakan pada Ayahku kalau kita tidak menikah-"
Fara mengangguk. "Dia benar Om. Kami-"
Pintu kembali terbuka. Afrah masuk kedalam ruanganku. Dia terdiam melihat kami. Lalu tatapannya beralih ke kartu undangan yang dipegang Fara.
Dengan pelan dia melangkah kearahku. Aku melihat tangannya bergetar lemah hanya untuk menyerahkan tas canvas berisi wadah makanan buatku. Afrah limbung, tapi Ayah menahan tubuhnya dengan cepat.
"Ikut Ayah sekarang!"
Afrah terlihat takut. "Tapi.. tapi Ayah-"
"Sudah Ayah bilang, jadi perempuan jangan lemah! Kamu lihat pria brengsek ini! Kamu lihat suamimu yang tidak memiliki perasaan ini! Dia mau menikah dengan Fara. Ini undangannya, apakah kamu masih mau bertahan makan hati didekatnya?!"
"Ayah-"
"Dua Minggu yang lalu kamu nyaris keguguran cuma karena stress memikirkan pria ini! Apakah kamu akan terus memaksakan dirimu Afrah!"
Air mata mengalir di pipi Afrah. Dia tidak banyak berkata. Aku ingin merengkuhnya, tapi Ayah menahan ku dan malah mendorongku.
"Jangan pernah mendekatinya lagi!"
Fara menyela. "Om, tolong percaya sama kami. Saya memang mau menikah, tapi-"
"Memangnya saya percaya sama kamu?! Tentu saja tidak!"
Lalu Ayah beralih menatapku. "Keluargamu sudah menjelaskan semuanya. Saya benar-benar kecewa denganmu. Bisa-bisanya kamu menganggap putriku ini seperti mainan teka-teki yang harus di pecahkan!"
"Ayah, aku-" BUG!
Aku tersungkur kelaintai. Lagi-lagi Ayah meninju pipiku. Afrah syok. Dia ingin mendekatiku, tapi Ayah mencegah Afrah.
"Kamu sudah banyak terluka. Kamu sudah banyak berkorban perasaan. Kamu sudah menahan rasa cemburumu dengan wanita ini. Jangan berniat mendekatinya. Kamu lupa kalau saat ini ada istrinya yang akan merawatnya?!"
Lalu Ayah memeluk tubuh Afrah yang menangis. "Ayah cuma tidak ingin kamu terluka. Itu saja Nak. Ayo ikut Ayah pulang. Ayah sama Bunda tidak bisa membiarkanmu tertekan. Apa kamu lupa Dokter mengatakan bahwa kandunganmu itu lemah? Tolong pertahankan buah hatimu."
Aku terdiam melihat Ayah begitu terpukul. Kedua mata Ayah berkaca-kaca. Dia mencium puncak kepala Afrah dengan sayang. Seorang ayah yang terluka karena putrinya aku sakiti.
"Tolong beri waktu kami." Isak Afrah pada Fara dan Ayah. "Hanya sebentar."
Ayah dan Fara melenggang pergi dengan diam. Lalu kesunyian terjadi diantara kami. Tiba-tiba Afrah mendekatiku. Afrah memelukku dengan erat. Aku memejamkan mataku, merasakan pelukan hangat ini.
"Mas?"
"Ya?"
"Afrah, Afrah baik-baik saja karena Allah bersama Afrah."
"Tapi Afrah-"
"Mulai sekarang, fokuslah terhadap Fara. Ayah benar, Afrah tidak sanggup terus menahan rasa sakit ini."
"Afrah. Jangan pergi, kumohon maafkan aku."
"Izinkan Afrah ikut bersama Ayah. Tolong lepaskan Afrah agar tidak terluka."
"Afrah-"
"Tolong Mas. Demi anak kita."
Tangis Afrah pun pecah. Dadaku sesak. Aku dilema. Aku tidak ingin kehilangan Afrah, tapi di satu sisi aku tidak bisa memaksanya berada didekatku jika itu akan membahayakan kondisi kehamilannya.
"Baiklah, tapi tolong jangan lama-lama perginya. Ayah sudah tidak mengizinkanku bertemu denganmu."
"Afrah tidak tahu sampai kapan. Maafkan Afrah."
"Aku akan terus merindukanmu."
"Tolong jaga kesehatan Mas dengan baik. Jangan lama-lama tidur dengan suhu AC. Jangan memakan udang. Jangan berhujan-hujanan. Jangan lupa meminum madu hangat. Tolong katakan Fara untuk tetap seperti itu selama bersama Mas."
"Tolong jangan sebut nama dia lagi. Aku-"
"Afrah ingin meminta satu hal." potong Afrah pelan.
"Katakan."
Bukannya menjawab, Afrah menarik pergelangan tanganku menuju sofa. Kami duduk saling bersebelahan. Tanpa diduga, dia mengarahkan telapak tanganku pada perutnya.
"Dia akan merindukan Ayahnya. Tolong bacakan sedikit penggalan surah pendek Al Qur'an agar senantiasa Allah memberinya perlindungan. Al Fatihah saja Mas, tidak apa-apa."
Aku mengangguk. Air mata menetes lagi dipipiku. Selama membaca Al Fatihah, hatiku sakit. Ini adalah detik-detik Afrah akan meninggalkanku.
Setelah selesai membaca Al-fatihah, aku merunduk mencium perut Afrah dengan sayang. Afrah belum pergi, tapi aku sudah merindukan buah hatiku.
Lalu aku menatap Afrah. Aku pun membuka cadarnya. Aku menangkup pipinya, aku mencium keningnya sampai akhirnya kami saling menempelkan dahi.
"Jangan pernah lupa untuk kembali." bisikku pelan padanya.
Diiringi air mata kami yang sama-sama mengalir di pipi.
****
Perasaan kalian sama chapter ini...
😢😭
Makasih sudah bertahan ya. Pagi ini mungkin author sudah membuat kalian terluka dengan chapter ini.
Maafkan author :(
Tetap semangat setelah selesai baca. Fokus sama aktivitas kalian. Jangan pikirin Fikri yang kini sedang menyesal 🤧
With Love 
LiaRezaVahlefi
Instagram 
lia_rezaa_vahlefii
Wattpad khusus Fiksi remaja 
Lia_Reza_Vahlefi
Lanjut, Chapter 55. KLIK LINK DI BAWAH INI :

2 komentar:

  1. Kejujuran dan kepercayaan merupakan inti dari pernikahan
    Tp sayang endingnya ngegantung atau msh bersambung

    BalasHapus
  2. malahan sudah tamat kok, coba cek sampai bawah, baca seperti biasanya sampai ketemu link chapter selanjutnya, nah klik aja begitu seterusnya sampat tamat :)

    BalasHapus