Selasa, 21 Januari 2020

ENDING : Afrah ( Ana Uhibbuka Fillah )






Perumahan Komplek Pelita Indah Blok A. Jakarta Utara. Pukul 10.00 pagi. 8 bulan kemudian..

Hai Asalamualaikum..
Bagaimana kabar kalian? Apakah kalian sehat?
Semoga sehat-sehat saja ya. Aamiin.
Kalian tahu betapa aku merindukan kalian selama ini? Tidak hanya itu, aku juga ingin berbagi cerita kalian selama 8 bulan ini.

Kalian pasti bertanya-tanya, Kenapa aku tidak hadir menyapa kalian seperti sebelumnya. Kenapa aku terlihat menghindar dari kalian semua atau lebih tepatnya menyendiri dari semua situasi yang ada?
Jawabannya ada dua.

Pertama, tanyakan saja sama yang menulis ceritaku ini. Kenapa dia membuat diriku penuh lika-liku sampai akhirnya aku harus menahan rindu dengan pria yang aku cintai.

Dan yang kedua, Ntah kenapa selama hamil aku tidak suka berada didekat-dekat Mas Fikri. Bawaannya aku ingin marah terus sama dia. Dan hal itu membuatku tidak bisa berkutik ketika selama 2 jam Mas Fikri berada didekatku. Makanya aku menghindar dan memilih menyendiri saja selagi Mas Fikri berusaha meminta maaf pada semuanya.

Setiap sebulan sekali dia mendatangiku. Hanya 2 jam saja. Itu adalah peraturan dari Ayah yang setelah melihat kondisiku karena nyaris keguguran akibat stress dan tertekan dengan masalah rumah tangga kami. 

Selama 2 jam Mas Fikri menggunakan waktunya dengan baik bersamaku. Salah satunya ketika aku harus memenuhi kewajibanku sebagai seorang istri sebagaimana mestinya agar dia terhindar dari dosa perzinaan diluar sana meskipun sebenarnya hatiku sudah terluka. Terluka karena dia hampir saja membagi cintanya pada wanita lain.

Selama 2 jam setiap bulannya, Mas Fikri sudah tidak perduli lagi hanya untuk melihat keadaanku. Ntah itu tengah malam, siang, pagi ataupun subuh. Semua tergantung dari situasi dia yang begitu sibuk dalam bekerja.

Lucunya lagi, saat aku teringat saat hamil 2 bulan, Mas Fikri malah sering mual-mual tanpa sebab. Sebenarnya aku kasian, tapi hatiku serasa kebal dan mati rasa sejak kejadian itu sehingga aku berusaha untuk cuek.

Pokoknya selama hamil ini aku begitu sensitif. Rasanya aku ingin semuanya Mas Fikri yang memulai duluan, termasuk mendapat maaf dariku yang sudah terdzolimi ini.

Tapi diluar sana, aku sadar kalau Mas Fikri melakukan berbagai macam cara untuk meminta maaf padaku dan pada keluargaku yang sudah di kecewakannya.

Aku mengusap perutku yang sudah membesar. Kehamilanku sudah berusia 9 bulan. Kata Dokter Lara, beliau memperkirakan taksiran kelahiran bayiku seminggu lagi.

Alhamdulillah selama hamil kondisi janinku baik-baik saja, termasuk sehat, fisik lengkap, air ketuban cukup dan saat ini berat badan janinku sudah mencapai 3,8kg.

Untuk jenis kelaminnya? Aku tidak tahu. Aku tidak ingin mencari tahu terlebih dahulu agar bisa biar menjadi kejutan nantinya.
Aku merubah posisiku sedikit bersandar dengan nyaman di atas tempat tidur. Bulan kemarin Mas Fikri tidak mendatangiku sana sekali. Dia lagi sibuk dengan urusan pekerjaannya dan melakukan perjalanan keluar negeri.

Perutku terasa sesak. Bayiku ini sangat aktip. Apalagi kalau Mas Fikri didekatku, bayiku bisa sering menendang seolah-olah dia tahu keberadaan Ayahnya.

Suara lantunan ayat suci Al Quran terdengar sejak 30 menit yang yang lalu. Aku memejamkan kedua mataku sejenak. Ntah kenapa bayangan Fara beberapa bulan yang lalu menghampiriku kembali hadir dibenakku.
Awalnya aku tidak percaya ketika pernikahan itu batal. Tapi setelah Fara datang bersama suaminya, sejak saat itulah aku percaya kalau pernikahan Mas Fikri dan Fara batal.

Tapi tetap saja aku terluka begitu mengetahui hal yang sebenarnya setelah Bunda mertuaku menghubungi Ayah dan menceritakan semuanya.

Selama ini Mas Fikri salah paham denganku. Reva sesungguhnya yang dia cari selama ini adalah Fara. Fara sudah meminta maaf padaku. Aku memang memaafkannya meskipun bekas luka itu masih bersarang di hatiku.

Suara lantunan ayat Alquran berakhir. Aku mencoba meraih ponselku dan mematikannya. Kata Dokter, sebisa mungkin aku tidak boleh terlalu sering memegang ponsel agar terhindar dari radiasi.

Tiba-tiba perutku terasa nyeri. Sudah 2 hari ini kontraksi palsu sering terjadi. Setiap jamnya aku harus bolak-balik ke kamar mandi untuk mengecek apakah tanda-tanda kelahiran akan muncul atau tidaknya. Salah satunya keluarnya flek darah.

Rasa nyeri di perutku semakin meningkat. Wajahku berpeluh. Dengan perlahan aku menuruni tempat tidur. Aku berjalan pelan-pelan karena rasa sakit ini semakin menyiksa.

"Ya Allah, apakah aku akan melahirkan dalam beberapa jam kedepan? Ya Allah, tolong selamatkan nyawa hamba yang sebentar lagi akan berjuang antara hidup dan mati nantinya."

****

2 jam kemudian. Pukul 12.00 siang.
Sholat Zuhur baru saja selesai. Nafasku tersengal-sengal. Hanya untuk rukuk dan sujud saja membutuhkan perjuangan yang tidak mudah.

Sekarang aku sadar, mengapa surga dibawah telapak kaki ibu. Sekarang aku paham mengapa kita harus berbakti kepada orang tua kita khususnya pada ibu. Seperti ini lah rasanya. Tidak mudah. Mengandung selama 9 bulan.

Lalu aku tidak pernah bisa mengerti kenapa sebagian para laki-laki diluar sana dengan mudahnya menyakiti hati para perempuan.
Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka lahir dari rahim seorang perempuan?

 Tidakkah mereka berpikir bahwa nantinya mereka akan menikah dan mempunyai istri yang akan mengalami hal yang sama sepertiku termasuk anak-anak perempuan mereka dimasa mendatang? Seketika aku teringat Mas Fikri. Yang dengan mudahnya waktu itu ingin menikah lagi sementara aku tersakiti.

Suara pintu terketuk. Dengan tertatih aku melepas mukenaku dan mengambil cadarku. Saat ini Ayah dan Bunda tidak dirumah karena sedang kerumah sakit untuk mendaftarkan diriku sekaligus memboking ruangan pasca persalinan untukku buat minggu depan.
Aku membuka pintu dan terkejut mendapati Ayah, Bunda, Kakak iparku dan putranya.

"Asalamualaikum. Ya Allah Afrah, Bunda kangen sama kamu nak."

"Wa'alaikumussalam Bunda."

Aku tersenyum tipis. Bunda memelukku. Lalu aku mempersilahkan semuanya memasuki rumahku.

"Ayah sama Bunda kamu mana? Kok sepi?" tanya Ayah Azka padaku.

"Ayah sama Bunda lagi ada urusan diluar Yah."

"Kamu sendirian Nak?" tanya Bunda lagi kearahku.

Aku mengangguk. "Iya Bunda. Afrah sendirian."

"Em, sebentar, Afrah buatkan minum dulu."

"Eh jangan Nak. Langkah kamu saja sudah mulai tertatih. Tidak perlu repot-repot."

Tiba-tiba Bunda merengkuh pundakku. Beliau memang benar-benar selalu mengkhawatirkanku semenjak aku menjadi menantunya.

"Wajah kamu pucat. Kayaknya kamu mau lahiran dalam waktu dekat deh."

"Kata Dokter taksirannya Minggu depan Bun."

"Itu hanya perkiraan mereka Afrah. Ayo kerumah sakit sekarang."

"Tapi Bunda-"

"Bunda ini pengalaman nak. Bunda sudah brojolin 2 anak. Tuh, yang satu di pojokan sana sama Raihan. Yang satu lagi si bayi besar yang susah di hubungin sampai sekarang!"

"Memangnya Fikri kemana Bun?" sela Ayah.

"Bunda tidak tahu. Vino coba hubungin adikmu itu. Kalau perlu loud speaker panggilannya sekarang."

Aku melihat Kak Arvino menghubungi Mas Fikri. Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua juga tidak. Lalu panggilan ketiga diangkat.

"Halo? Fikri?"

"Asalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam. Kamu dimana?"

"Lagi diluar. Tumben nelpon?"

Kak Arvino terlihat mendengkus kesal.
"Kamu ngapain? Tidak bekerja? Jangan korupsi waktu!"

"Ada urusan penting."

"Aku di Jakarta, sama Ayah dan Bunda. Cepat pulang. Sebelum aku menghajarmu saat ini juga!"

"Aku sibuk. Tapi aku akan mengantar Fara dulu kerumah sakit. Dia lagi pusing."

DEG. Tiba-tiba hatiku sakit. Kenapa dia tidak bisa menghindari Fara meskipun wanita itu sudah menikah?

Panggilan pun berakhir. Lalu semua mata menatap kearahku. Semua mata juga tahu kalau saat ini akiu cemburu.

"Astaghfirullah, Bunda, ada darah!"

Tiba-tiba Mbak Aiza mendekatiku. Dia menatapku cemas diikuti dengan Bunda yang berjongkok di lantai bersama Aiza.

"Bunda, menurut Aiza sepertinya pembukaan Afrah mungkin sudah bertambah."

"Iya Nak, ayo semuanya kita kerumah sakit."

"Mas Vin, tolong gendong Raihan. Biar kita cepat." sela Mbak Aiza panik.

Bunda dan Mbak Aiza berada di kanan kiriku. Mereka membantuku berjalan pelan ke mobil. Aku tidak banyak berbuat apapun selain syok, terluka lagi, cemburu lagi dan sakit lagi.

Ini memang rasa sakit yang bersamaan. Antara sakit hati karena cemburu dan sakit fisik yang akan mempersiapkan diri untuk lahiran. Mas Fikri mementingkan Fara. Tapi dia tidak sadar kalau sebentar lagi aku akan memulai perjuangan diriku antara hidup dan mati nantinya.


****

Rumah sakit Kasih Bunda. Jakarta Utara. Pukul 17.00 sore.

Sudah 5 jam berlalu. Dokter Lara memeriksaku setengah jam yang lalu dan mengatakan bahwa aku sudah memasuki pembukaan 1.
Rasa sakit belum terlalu parah.

 Dokter Lara memberiku instruksi agar aku banyak berjalan mondar-mandir supaya pembukaan cepat bertambah seiring berjalannya waktu.

Air mata menetes dipipiku. Bunda Ayu menyuruhku agar aku bisa tenang. Tentu saja aku tidak bisa tenang karena ucapan Mas Fikri tadi siang benar-benar menyakitiku dan membuatku cemburu.

Aku duduk di sofa dan mulai berdzikir agar pikiranku tidak kosong  dalam detik-detik memperjuangkan nyawa demi bayiku nantinya, aku tidak ingin melupakan dzikirku. Siapa tahu dzikir ini adalah dzikir yang terakhir kalinya?
Suara keributan terdengar.

 Aku berusaha untuk berdiri dan berjalan pelan mencapai pintu. Hanya berjalan  beberapa langkah saja rasanya begitu berat. Dengan perlahan aku membuka pintunya. Aku syok melihat Ayahku menghadang Mas Fikri. Di sudut bibir Mas Fikri mengeluarkan darah. Lalu di sebelah Mas Fikri ada Daniel yang berusaha melerai perdebatan antara Ayahku dan suamiku sendiri.

"Ayah, tolong dengarkan aku. Tolong dengarkan aku. Tadi siang aku pulang dari urusan bersama rekan bisnis. Didalam mobil aku tidak sengaja melihat Fara di pinggir jalan. Dia terlihat pucat dan nyaris pingsan. Aku tidak mungkin mengabaikannya apalagi tidak menolongnya. Lalu aku-"

"SUDAH CUKUP! KAMU MEMANG TIDAK BISA SAYA PERCAYAI LAGI!"

"Maafkan saya Om. Fikri benar. Istri saya tadi berniat mendatangi saya di kerjaan. Lalu Fikri melihatnya di pinggir jalan dan membawanya kemari bertepatan saat Afrah dan keluarga Om kemari." sela Daniel.

"Ayah, please aku ingin melihat Afrah." Lalu tanpa sengaja tatapan Mas Fikri bertemu denganku.

"Afrah, Afrah, aku bisa jelaskan-"

"Jangan dekati Putri saya!"
Dan Ayah kembali menghalangi Mas Fikri.

BUG!

Ayah malah meninju wajah Mas Fikri. Ayah Azka dan Bunda Ayu mulai melerai. Air mata menetes di pipiku. Aku melemah. Dengan perlahan aku memundurkan langkahku dan menutup pintu ruangan ini.

Aku merasa tak berdaya. Ketika situasi saat ini sedang rumit. Hanya kepada Allah lah aku mengadu dan bergantung.

"Ya Allah, Tolong buat keluarga hamba akur dan saling memaafkan. Jangan sampai setelah hamba tiada baru mereka saling menyesal."

****

Keesokan harinya. Pukul 08.00 pagi.

Sudah beberapa jam berlalu. Sehari semalam aku lalui dengan Bunda berada disampingku bersama Ayah. Ayah tidak mengizinkan Mas Fikri berada didekatku. Ia pun akhirnya pulang bersama keluarganya.

"Nak, ayo baca doa ini sebelum lahiran."

Bunda membujukku. Yang aku lakukan saat ini hanya bisa meringkuk menahan rasa sakit hebat yang tak bisa aku gambarkan seperti apa. Terutama di area pinggul.

Sehari semalam Ayah dan Bunda menemaniku. Saat ini aku sudah mencapai pembukaan 9. Rasa sakitnya semakin intens. Rasanya aku ingin menyerah.

Bunda menuntunku membaca doa ayat kursi sebanyak satu kali. Lalu membaca surah Al A'raf ayat ke 54, surah Al Falaq sebanyak  satu kali, dan surah An'Nas sebanyak satu kali.
Semua doa aku baca dengan baik.

"Nak, ada satu doa lagi yang wajib dibacakan suami untuk kamu. Ayah, tolong izinkan Fikri masuk."

Ayah ingin menolak. Tapi melihat tatapan Bunda yang memohon, Ayah hanya diam dan keluar ruangan. Aku memejamkan mataku. Aku meringkuk. Aku meremas selimut pasien untuk menyalurkan rasa sakit ini.

Tiba-tiba sebuah sentuhan terasa dibelakangku. Tubuhnya sedikit memeluk dari samping. Tanganku yang sejak tadi meremas selimut tiba-tiba terlepas dan tergantikan dengan telapak tangan yang aku kenal.

"Jangan pegang selimut. Pegang tanganku saja."

Air mata mengalir di pipiku. Kecupan lembut mengenai dahiku. Tak hanya itu, usapan pelan untuk menghilangkan peluh yang menempel di dahiku pun terasa.

"Aku tahu kamu marah denganku. Tapi tolong maafkan aku."

Aku berbalik dan terlentang menatap wajahnya. Mas Fikri merunduk hanya untuk mencium keningku.

"Izinkan aku berada disampingmu."

Lalu kami saling menempelkan dahi. Mas Fikri kembali menciumi kedua mataku dengan pelan.

"Mata ini sudah mengeluarkan banyak air mata karena diriku. Aku salah. Aku sudah mendzolimi dirimu selama ini."

Aku pun berusaha untuk duduk. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain memeluknya. Aku menumpukan dahiku pada pundaknya. Dengan perlahan dia melingkarkan tangannya di seputaran pinggulku.

Aku tak kuasa menahan rasa sakit ditubuhku. Aku mencengkram kuat lengannya.

"Maafkan Afrah, jika Afrah akan menyakiti Mas untuk menyalurkan rasa sakit ini."

"Kamu istriku yang kuat. Kumohon bertahanlah. Pegang saja tanganku kalau kamu kesakitan."

"Bila aku tiada. Tolong jaga anak kita."

"Sshh. Jangan berkata begitu lagi Afrah, Please."

"Lâ ilâha illaLlâhul ‘adzîmul halîm. Lâ ilâha illaLlâhu Rabbul ‘arsyil ‘adzîm. Lâ ilâha illaLlâhu Rabbus samâwâti wal ardli wa Robbul ‘arsyil ‘adzîm

"Tiada tuhan selain Allah Yang Maha Agung lagi Bijaksana. Tiada tuhan selain Allah Pemilik ‘Arsy yang Agung. Tiada tuhan selain Allah Pemilik langit dan bumi dan ‘Arsy yang Agung."

"Aamiin."

Mas Fikri baru saja mendoakanku bertepatan saat pintu terbuka. Dokter Lara dan asistennya kembali memeriksa kondisiku.

"Pembukaannya sudah lengkap. Kita harus keruang bersalin sekarang ya."

Sesuai instruksi dari Dokter Lara, akhirnya suster mendorong brankar pasien milikku keruang bersalin. Ayah Bundaku dan mertuaku menatapku cemas begitu kami bertemu didepan pintu ruangan rawat inap. Disampingku ada Mas Fikri yang dengan setianya menemaniku.

Sesampainya disana, rasa sakit ini semakin menjadi. Aku takut. Aku gugup. Bagaimana kalau aku gagal melahirkan secara normal? Bagaimana jika aku tidak kuat mendorong kepala bayi ini keluar lalu aku pingsan?

Dokter Lara mulai memberiku instruksi. Rasa sakit yang tak bisa di jelaskan ini hanya aku saja yang mengalaminya. Aku frustasi. Aku takut. Segala sesuatu tentang hal-hal nyawa yang tidak selamat membayangi pikiranku. Mas Fikri terus menyemangatiku.

"Sedikit lagi Bu Afrah. Tolong jangan menyerah ya."

"Saya tidak kuat Dok." lirihku.

"Afrah, kumohon bertahanlah." bisik Mas Fikri sambil mencium keningku.

Drama bujukan yang sejak tadi terdengar ditelingaku membuat diriku bertambah sakit.

"Ayo Bu, terus, tarik napas kemudian dorong."

Aku mendorong sekuat tenaga dengan memegang tangan Mas Fikri sampai akhirnya suara tangisan bayi terdengar nyaring. Nafasku tersengal-sengal. Keringat membanjiri tubuhku. Lalu aku melemas kehabisan tenaga.

Air mata haru mengalir di pipiku. Samar-samar aku melirik kesamping, Mas Fikri menangis. Dia memelukku dari samping.

"Ya Allah, terima kasih. Terima kasih telah menyelamatkan nyawa istri dan anak hamba."

"Alhamdullilah selamat ya Pak Fikri dan Bu Afrah. Bayinya berjenis kelamin perempuan. Fisik lengkap dan kondisi sehat."

Suara tangisan putriku semakin membuat Mas Fikri menangis sambil memeluk leherku dari samping. Padahal aku yang melahirkan, tapi Mas Fikri yang benar-benar menangis terisak disampingku.

"Bu Afrah, segera beri Asi pertamanya ya untuk putrinya."

Dengan dibantu Dokter Lara, putriku yang cantik ini sudah diberi bedongan berwarna putih. Bibirnya yang mungil siap menerima Asi. Aku terharu. Matanya sayup-sayup dan begitu menggemaskan. Rambutnya sangat lebat. Lalu aku tertegun, iris matanya berwarna biru seperti Mas Fikri.

"Mas.."

"Afrah, kumohon maafkan aku. Aku menyesal. Aku menyesal telah menyakitimu. Aku menyesal telah mendzolimi wanita sebaikmu dirimu. Dan aku menyesal pernah mengabaikan saran Bundaku untuk tidak menikahi wanita lain waktu itu. Sekarang aku sadar, perjuangan seorang perempuan tidaklah mudah. Hanya melihat secara langsung darimu, aku menyesal telah membuat wanita seperti dirimu terluka.."

"Aku janji akan menjaga kalian berdua sampai tidak ada siapapun yang berani menyakiti kalian. Afrah Amirah dan.."

Lalu Mas Fikri mencium pipi putriku yang sedang menyusu Asi kemudian mencium keningku dengan lembut.

"Dan Hazimah Qanita Azka."

Aku terdiam sesaat. Kemudian dia tersenyum sambil mengusap air mata di pipinya.

"Hazimah, artinya memiliki keteguhan hati. Seperti dirimu."

"Qanita Azka, artinya taat, di hormati dan suci. Kita bisa memanggilnya Nita."

Air mata mengalir dipipiku. Aku tahu selama ini dia salah. Saat ini dia berusaha meminta maaf padaku. Lalu detik selanjutnya yang aku dengar hanyalah suara adzan ketika Mas Fikri mengadzani putri tercinta kami setelah aku selesai memberi Asi pada putri kami.

****

Keesokan harinya. Pukul 09.00 pagi.

Suasana keakraban yang terjadi diantara keluargaku dan keluarga Mas Fikri begitu terasa. Satu hari setelah lahirnya Nita, keluarga besar Mas Fikri yang ada di Amerika pun langsung terbang menuju Indonesia.

Aku melihat Bunda Ayu yang menimang Nita dengan sayang. Disebelahnya ada Mbak Aiza dan Bundaku. Aku melihat situasi kalau Ayahku dan keluarga Mas Fikri sudah baikan.

Pintu terbuka pelan. Mas Fikri masuk sambil membawa sebuket bunga mawar dan boneka Teddy bear berukuran kecil ditangannya.
Tiba-tiba Ayah berdiri dan melangkahkan ke arah Mas Fikri.

"Ngapain kamu kesini?!"

"Saya.. saya ingin melihat Afrah dan-"

"Lebih baik kamu keluar dari sini!"

"Tapi, Ayah, saya-"

"Keluar."

Lalu semuanya menjadi hening. Semuanya tak bisa berkutik. Keluarga Mas Fikri yang berasal dari Amerika juga tahu masalah yang terjadi. Mas Fikri memundurkan langkahnya kebelakang dengan pelan.

Setelah Nita lahir, Ayah kembali overprotektif padanya. Ayah tidak mengizinkan Mas Fikri mendekati Nita. Lalu Mas Fikri pun membalikan badannya dengan langkah pelan dan pergi.

****

2 bulan kemudian. Pukul 20.00 Malam.

Waktu terus berjalan. Tak terasa sekarang sudah 2 bulan berlalu. Selama itulah aku tinggal dirumahku. Selama 2 bulan juga aku tidak bertemu Mas Fikri. Dia memberiku pesan agar aku bisa menjaga diri dengan baik di rumah.

Setelah Ayah mengusirnya waktu itu, Mas Fikri tidak pernah menunjukkan wajahnya lagi didepan kami. Aku sempat menghubunginya. Dia hanya berkata dia baik-baik saja dan sibuk.

Tapi, ntah kenapa aku meragukan hal itu. Aku tahu Mas Fikri seperti apa dan sifatnya. Aku tahu dia sedang menahan rindu padaku dan Nita. Aku merasa Mas Fikri takut dan tidak percaya diri lagi hanya untuk kemari. Aku juga merasa dia frustasi.

Aku menatap Nita yang tertidur dalam dekapanku. Hanya melihat wajah Nita saja seketika aku merindukan Mas Fikri. Mas Fikri melihat Nita hanya 1 jam setelah Nita lahir. Setelah itu, Ayah mengusirnya lagi.

Air mata mengalir di pipiku. 2 bulan sudah berlalu dan membuatku merindukannya. Rasa marahku padanya sudah hilang. Terkadang kami butuh jeda dan menyendiri sesaat agar bisa saling introspeksi diri.

Aku segera memakai cadarku dan mengendong Nita saat ini juga. Sudah waktunya aku pulang. Aku harus kembali pada Mas Fikri. Aku pun keluar dan menuju ruang tamu. Air mata mengalir dipipiku.

"Ayah.."

Ayah menatapku. Lalu Ayah berdiri dihadapanku.

"Pulanglah ke suamimu. Dia membutuhkanmu."

"Ayah.. Afrah.."

"Sudah cukup Ayah menghukumnya selama ini. Sebenarnya Ayah sudah memaafkannya sejak lama. Sikap Ayah selama ini semata-mata hanya untuk memberinya pelajaran. Jika putrinya disakiti oleh suaminya, maka sebagai Ayah, Ayah akan maju paling depan untuk melindungi putrinya."

Aku terdiam. Sekarang aku sadar kenapa semua pihak keluarga Mas Fikri tidak pernah menghalangi Ayah saat Ayah memarahi Mas Fikri. Ternyata semua itu adalah pelajaran dan hukuman buatnya.

Aku tak bisa menahan diri lagi. Aku pun segera menuju apartemen untuk pulang. Air mata tak bisa aku cegah dari tadi.

"Ya Allah, maafkan hamba bila hamba berdosa tidak menjalani kewajiban hamba sebagai seorang istri sebagaimana mestinya."

****

Apartemen Casanova. Pukul 21.00 Malam. Jakarta Utara. 1 jam kemudian.

Aku pulang kerumah dengan tepat waktu. Nita masih tertidur pulas dalam gendonganku. Aku pun segera membuka pintu apartemen setelah memasukan angka passwordnya.
Pintu terbuka. Keheningan menyambutku.

"Asalamualaikum.."

Aku melangkahkan pelan kedua kakiku dan aku tertegun melihat Mas Fikri tertidur di sofa. Pakaian kerjanya masih melekat ditubuhnya meskipun hanya mengenakan celana kain berwarna hitam dan kemeja lengan panjang yang sudah digulungnya hingga kesiku.

Tapi sebelum mendatangi Mas Fikri, aku menuju kamar untuk meletakkan Nita diatas tempat tidur. Aku pun membuka kenop pintu kamarku dan lagi. Aku syok.

Aku terkejut ketika kamar kami didekorasi berwarna pink dengan banyak balon dan boneka Teddy bear. Di dindingnya ada balon huruf bertuliskan Welcome Home.

Sebagian balon sudah pada mengempis. Huruf W,C,M pada kata Welcome berjatuhan di lantai. Air mata menetes di pipiku. Apakah sejak 2 bulan yang lalu Mas Fikri menyiapkan ini semua sebelum Ayah mengusirnya kembali?

Kamar ini banyak berubah. Terlihat kamar feminim serba pink. Tanpa banyak bicara lagi aku meletakkan Nita di atas tempat tidur. Aku menangis dan segera mendatangi Mas Fikri. Dia masih tertidur. Aku meluruh dilantai dan terisak. Aku menundukkan wajahku.

"Afrah?"

Aku mendongakkan wajahku. "Mas.."

"Afrah... Apakah ini kamu?"

"Iya Mas."

"Apakah aku sedang bermimpi istri yang aku rindukan pulang?"

Akhirnya aku berdiri diikuti dengan Mas Fikri dan aku segera memeluknya dengan erat. Aku menangis dalam dekapannya.

"Mas."

"Afrah, tolong. Tolong izinkan aku melihatmu sebentar."

Lalu Mas Fikri melepas ikatan cadarku. Dia menangkupkan kedua pipiku.

"Aku rindu sama kamu. Wajah cantik ini selalu membayangi isi pikiranku setiap malamnya. Karena sekarang nyata, bolehkah aku melepas rindu padamu? Aku janji hanya sebentar. Setelah itu kamu boleh kembali ke tempat Ayah."

Aku menggeleng lemah. "Mas alasan aku kembali. Afrah tidak akan kemana-mana lagi."

Lalu aku mencium kening Mas Fikri. Kami saling menempel dahi dan berpelukan erat.

"Maafkan aku Afrah.. kata maaf ini akan terus terulang sampai kamu benar-benar memaafkanku. Aku-"

"Demi Allah.. Afrah sudah memaafkan Mas. Afrah sudah mengikhlaskan semua kesalahan Mas. Afrah sudah memaafkan Fara."

"Benarkah?"

"Iya Mas. Justru Afrah yang minta maaf tidak menjalani kewajiban Afrah selama 2 bulan ini dengan mengurus keperluan Mas."

"Kamu habis lahiran. Tentu saja aku memaklumimu Afrah."

"Sudah lewat 40 hari. Seharusnya Afrah kemari. Bukan diam dirumah dan tidak memperhatikan Mas. Maafin Afrah.."

"Aku memaafkanku. Baiklah, kita saling memaafkan satu sama lain. Aku janji, besok aku akan mendatangi Ayahmu dan meminta maaf padanya."

Lalu kami saling berpelukan erat. Mas Fikri membawaku ke kamar Nita. Sesampainya disana, Mas Fikri tidur disamping Nita dan mencium pipinya.

"Setiap malam aku juga merindukan Nita."

Aku tersenyum tipis. Hatiku serasa lega. Akhirnya Mas Fikri kembali kepadaku setelah banyaknya ujian cinta diantara kami. Alhamdulillah kebahagiaan menghampiri kami.

Aku memilih pergi dari kamar Nita. Aku memberikan waktu untuk Mas Fikri yang sedang melepas rindu dengan Nita sesaat.

****

30 menit kemudian.

Aku berdiri di balkon apartemen untuk menikmati semilir angin yang begitu sejuk. Jam menunjukan pukul 21.30 malam. Aku menatap jalanan dibawah yang terlihat lenggang.

Aku tidak menyangka kalau di apartemen sini Mas Fikri merenovasi dan menyediakan kamar baru untuk kami. Katanya kamar kami yang sebelumnya diberikan untuk Nita.

Sebuah pelukan dari belakang membuatku terkejut. Lalu aku tersenyum. Mas Fikri mencium pipiku.

"Kamu tidak masuk?"

"Sebentar lagi."

"Afrah.."

"Hm?"

"Aku bahagia. Terima kasih."

"Bahagia karena apa?"

"Karena nikmat Allah. Dianugerahi istri Solehah sepertimu. Yang baik, dewasa, pengertian, penyabar, teguh pendirian dan kuat."

"Afrah biasa-biasa saja Mas."

"Itu bagimu. Tapi tidak denganku. Aku yang menilaimu Afrah."

"Kalau begitu terima kasih Mas."

"Ketika mengingat masalalu, aku memang terpukul setelah wanita yang hendak aku nikahi pergi selama-lamanya. Aku mencoba sabar. Sampai akhirnya Allah menggantikan rasa sedih itu dengan takdir adanya dirimu untukku."

"Perjalanan ke kota Aceh yang aku lakukan saat itu membawaku bertemu dengan jodohku dunia akhirat. Afrah Amirah. Si wanita gaptek yang lugu. Penyuka warna pelangi, cantik, dan Solehah. Terima kasih telah sabar menungguku membalas cintaku padamu Afrah."

Aku membalikan badanku dan menarik pergelangan tangan Mas Fikri untuk memasuki kamar kami. Aku membuka tali cadarku setelah beberapa menit aku berdiri di balkon.
Kami pun berdiri saling berhadapan.

"Afrah juga berterima kasih sama Mas. Telah menerima Afrah dengan ikhlas dan menyadari kesalahan Mas."

Mas Fikri hanya tersenyum dan mencium keningku. Kami saling memejamkan mata. Meresapi kerinduan yang sempat tertunda. Merasakan kebahagiaan setelah ujian cinta yang begitu rumit.

Manusia memang tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah. Setiap manusia pasti akan di uji dalam hidupnya.

Termasuk kisah cintaku pada Mas Fikri. Berawal dari dia seudzon padaku kemudian memfitnahku hingga akhirnya dia menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi.

"Mas.."

"Hm?"

"Izinkan Afrah.."

"Untuk?"

"Menjalankan kewajiban Afrah pada Mas yang tertunda."

Lalu dia tersenyum dan mencium keningku.

"Ada satu hal yang ingin aku katakan padamu. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terucap di bibirku."

"Apa Mas?"

"Aku mencintaimu Afrah."

DEG. Jantungku berdegup kencang. Tanpa diduga Mas Fikri menggendongku keatas tempat tidur. Air mata mengalir dipipiku. Setelah penantian yang panjang akhirnya dia mencintaiku.

"Aku sudah melupakan masalaluku yang kelam. Sekarang aku berpaling padamu Afrah. Aku mencintaimu."

Aku tersenyum diiringi air mata kebahagiaanku.

"Afrah juga Mas. Ana Uhibbuka Fillah Mas Fikri Azka."

TAMAT

❤️❤️❤️❤️

Masya Allah Alhamdulillah.

Akhirnya.. akhirnya.. Ana Uhibbuka Fillah yang
di publikasikan sejak tanggal 01 Agustus 2019 - 10 Desember 2019, Alhamdullilah tamat dan berjalan dengan baik 🖤🖤🖤🖤🖤

Dari Fikri kita bisa belajar bahwa sebagai manusia kita tidak boleh seudzon dan berburuk sangka pada seseorang sebelum mencari tahu kebenarannya apalagi dg pasangan kita atau orang-orang terdekat kita.

Dari Afrah kita bisa belajar bahwa sebagai wanita dalam kondisi apapun tetap berserah diri pada Allah. Karena hanya kepada Allah lah kita boleh berharap dan bergantung.

Dan dari Ayah Afrah kita bisa belajar bahwa merusak kepercayaan orang lain itu memang sulit untuk mengembalikannya. Karena itu jangan sampai kita mengecewakan orang lain ya..

Makasih sudah baca 🖤

Makasih buat kalian yang sudah vote dan memberi komentar disetiap part-nya dari awal sampai ending.

Perasaan kalian selama membaca cerita ini?

Senang

Baper

Campur aduk

Atau lainnya?

Doakan semoga suatu saat karya Ana Uhibbuka Fillah ini bisa di terbitkan dengan lancar hingga terpajang di toko buku lagi 🙂

Oh iya, Pesan buat author apa ?

Sekali lagi, makasih sudah stay dan mengikuti kisah Fikri yang belum move on sampai bisa move on ❤️❤️❤️❤️

Ditunggu cerita  terbaru selanjutnya ya ;)

With Love 💋
LiaRezaVahlefi

Instagram
lia_rezaa_vahlefii.

Note ; JANGAN KAPOK AUTHOR BAPERIN lagi nanti 😝
 
*****

NEXT RAIHAN & RAISYA
( TRILOGI DARI MENCINTAIMU DALAM DIAM DAN ANA UHIBUKKA FILLAH )

MENCERITAKAN KISAH ANAK ARVINO AIZA DAN DOKTER DEVIAN ADILA






BLURB 


Membenci Raisya karena sikapnya yang cerewet, berisik, keras kepala, bahkan sosoknya yang manja itu adalah hal yang wajar bagi Raihan. Apalagi Raihan sendiri adalah sosok yang berbanding terbalik dengan Raisya.

Sampai akhirnya, takdir membuat keduanya menikah di usia yang masih sekolah hanya karena sebuah kesalahanpahaman. Pernikahan dadakan itu terjadi begitu cepat!

Sekarang, setelah sebelumnya Raihan suka menyendiri seperti orang introvert, apakah ia yakin bisa sekamar dengan lawan jenis macam Raisya apalagi gadis itu adalah istrinya?
 
 
TERSEDIA DI WATTPAD liareza15 ( Sudah Tamat )

29 komentar:

  1. Ya Allah kaka aku baca ini sehari doang karna saking penasarannya😭dan cerita ini bener" bikin orang gemeess dikira bakal separah aku mencintaimu dalam diam ternyata engga deh,salut ama kaka yang selalu bisa bikin orang yang baca campur aduk😂antara kesel,gondok,lucu,penasaran dll semangat terus ka bikin karya karya yang lainnya

    BalasHapus
  2. Terharuuu, tersentuhh... Byk hikmah yg di dptkan baca ini.. Jujur saking serius bcnya. Air mata keluar dgn sndrny. Klo baca bgian part yg sediih dan bahagianya

    BalasHapus
  3. Ceritanya banyak pesan moralnya banget.... Terus bikin hatiku campur aduk deh, sampe sampe ngga kerasa air mataku jatuh. Pokoknya the best deh, suka banget pokoknya....😍😍😍😘😘😘😘😘😘😘😘

    BalasHapus
  4. MaasyaAllah kak...termotivasi jadi istri solihah saya�� the best bgt sampai kebawa mimpi..

    BalasHapus
  5. MasyaAllah cerita y luar biasa. Banyak ibrah y bisa di ambil dr cerita ini. Jazakillah. Semoga mjd tulisan y bermanfaat dan sumber inspirasi bg pembacanya.. semoga segera di bukukan

    BalasHapus
  6. Luar biasa ka.
    bener bener bikin olahraga jantung.
    makasih ceritanya ka. Banyak pelajaran yang bisa diambil.

    BalasHapus
  7. Subhanallah ceritanya banyak pesan moralnya. Contohnya kita harus bersikap husnuzan dengan Allah atau pun orang lain. Dipertengahan cerita rasanya mau nyerah aja gara" si Fikri. Tapi rasa penasaran lebih kuat. Pokoknya ceritanya the best lah.

    BalasHapus
  8. Kak extra part dooong.

    BalasHapus
  9. Masyaallah seru banget kak ceritanya😍 sedih susah bahagia campur aduk rasanya😘

    BalasHapus
  10. Sebenarnya aku masih sakit hati dengan perlakuan fikri sama afrah entah kenapa sampai sekarang belum hilang😠

    BalasHapus
  11. Suka sama ceritanya ����
    Memotivasi banget yaallah...
    Hari banget huhu��

    BalasHapus
  12. Bagus cerita, menyadarkan aku, bahwa jadi wanita itu harus banyak sabar dan ikhlas u apapun, dan melakukannya semata2 karena Allah.
    Makasih ya sudah memotivasi

    BalasHapus
  13. Mâ syâAllâh. Ceritanya benar-benar menyentuh dan sarat akan nilai-nilai islami. Tetap semangat berkarya mbak Lia. Bârakallâhu fiyk.

    Salam dari saya, FN, pembaca setia mbak Lia di wattpad.

    BalasHapus
  14. Masyaallah ceritanya sungguh menarik dengan kadar cerita yang mengutamakan perjuangan dan nilai² akhlak yang membuat org lain termotivasi.. sukses terus ka..

    BalasHapus
  15. Masyaallah cerita yg benar-benar menyentuh dan menginspirasi ini bagus banget beda dari novel² yg pernah saya baca. Dan di sini juga saya dapet ilmu sabar dan tentang suudzon kepada Allah atau orang lain,Syukro katsiron ukhti semoga sehat selalu

    BalasHapus
  16. Masyaallah cerita yg benar-benar menyentuh dan menginspirasi ini bagus banget beda dari novel² yg pernah saya baca. Dan di sini juga saya dapet ilmu sabar dan tentang suudzon kepada Allah atau orang lain,Syukro katsiron ukhti semoga sehat selalu

    BalasHapus
  17. Bapet bngt smp bela2in bgadang....hiekz....😭🥰

    BalasHapus
  18. Masya Allah. Baper bgt 😢🤧🤧

    BalasHapus
  19. Masya Allah. Baper bgt 😢🤧🤧

    BalasHapus
  20. Baper banget, benar2 menjelaskan makna ana uhibbuka fillah, bagus banget

    BalasHapus
  21. Masya allah seperti bukan cerita tapi nyata sampai bikin ngelap aor mata dan sesenggukan.
    Sangat sangat banyak pelajaran yang di dapat.

    BalasHapus
  22. Alhamdulillah.. suka sama ceritanya...bagus,,

    BalasHapus
  23. Masya Allah 😍😍😍
    Ceritanya ituloh mba bikin perasaan nano nano.
    Sehat terus mba

    BalasHapus
  24. MasyaAllah ceritanya banyak pesan moral yg dapat diambil, setiap chapter selalu buat penasaran plus di buat baper rasanya kayak nano2 kadang ketawa sendiri, terus menguras emosi pas konfliknya tapi dari itu semua tersimpan pesan sih dan yg paling aku suka itu kadang terselip surah/ayat dalam ceritanya. Semangat terus kak dalam berkarya.

    BalasHapus
  25. Masya Allah aku sampai begadang karena terngiang-ngiang sama kelanjutan cerita ini, gak sia-sia aku baca cerita ini kateka banyak pelajaran penting didalamnya.

    BalasHapus
  26. Makasih kak argh seneng banget suka banget sama ceritanya
    Kasih spesial part nya dong pengen liat keromantisan mereka lagi tapi terserah kakak juga hehe

    BalasHapus