Malam hari pun tiba. Adelard mengisi waktu luangnya bermain dengan Rafa semenjak putra itu ada bersamanya. Sebenarnya bukan tanpa alasan, Adelard hanya ingin menghindari Nafisah karena hatinya masih sulit untuk memaafkan perbuatan istrinya di masa lalu.
Suara tawa dan canda terdengar dari arah ruang bermain. Sedangkan Nafisah sendiri, ia sibuk mempersiapkan makan malam dengan menu soto daging.
Tiba-tiba Nafisah menutup mulut dan hidungnya. Hanya mencium aroma daging, kenapa bisa bikin dirinya jadi mual?
"Aku yakin banget tadi sudah bersih nyuci dagingnya. Kenapa bau dagingnya nyengat banget ya?"
Nafisah kembali mencicipi kuah soto daging itu. Tapi yang ada ia merasa mual. Akhirnya, Nafisah pun menyerah. Dengan cepat ia menuju toilet dan mual-mual di dalam sana. Nafisah memegang dahinya setelah selesai membersihkan bibirnya di keran westafel.
"Kenapa tiba-tiba aku merasa sakit?"
Suara tangisan Rafa terdengar. Buru-buru Nafisah segera keluar dari toilet. Di lihatnya Adelard sampai kewalahan menggendong Rafa.
"Ada apa?"
"Dia rewel. Mungkin mengantuk."
Nafisah ingin mengambil alih Rafa, tapi tubuhnya langsung limbung. Dengan cepat Adelard menangkap salah satu pergelangan tangannya.
Sesaat, keduanya saling menatap satu sama lain. Ntah dorongan dari mana Adelard meremas pelan tangan Nafisah. Tiba-tiba suasana menjadi canggung.
"Aku akan menidurkan Rafa dulu. Kalau Mas mau makan, makan aja. Aku sudah selesai memasak." ucap Nafisah dengan salah tingkah.
Adelard hanya terdiam melihat Nafisah. Ia menyadari kalau wajah istrinya terlihat pucat. Apakah Nafisah sedang sakit? Adelard ingin menawarkan diri untuk menidurkan Rafa sebagai bentuk keperduliannya. Tapi ntah kenapa sulit sekali mengatakannya?
Selama ini, Nafisah sudah sabar menerima semua konsekuensinya. Termasuk dengan sikapnya yang dingin dan tak acuh, Nafisah menerima semua itu. Sekarang, setelah melihat Nafisah sakit. Apakah Adelard masih bersikap dingin dengannya?
****
Zulfa menikmati makan malamnya dengan tenang. Sementara Papi dan Maminya, sudah duduk saling berhadapan dengannya. Tetapi semua ketenangan itu hilang begitu sang Papi membuka awal pembicaraannya.
"Bagaimana cabang toko butik kamu di kota Bali? Apakah ada kemajuan?"
Sesaat, Zulfa terdiam. Ia sedang berpikir bagaimana cara menjelaskan yang tepat pada Papinya.
"Alhamdulillah lancar. Tapi tidak berlangsung lama."
"Maksud kamu?"
"Butiknya tidak berkembang. Persaingan disana begitu besar. Aku memutuskan untuk menutupnya."
"Jadi itu alasan kamu pulang ke rumah?" sambung Mami Zulfa lagi hingga akhirnya membuat wanita muda itu mengangguk.
"Kalau begitu mending kamu fokus jalanin usaha butik kamu di sini aja. Lagian, Mami nggak suka kalau kamu merantau. Bikin orang tua khawatir apalagi kamu di sana sampai 2 tahunan.."
"Lagian umur kamu sudah 25 tahun. Sudah waktunya kamu menikah. Bagaimana kalau kamu kenalan dengan anaknya teman Papi?"
Zulfa langsung menghentikan kunyahan didalam mulutnya. Pertanyaannya Papinya berhasil membuatnya terbatuk. Buru-buru Zulfa langsung meraih segelas air di hadapannya.
Papi Zulfa hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Jangan terlalu kaget begitu nak, ini hanya perkenalkan biasa. Siapa tahu kalian cocok dan bisa menikah?"
Mami Zulfa sampai mengangguk penuh amtusias. "Itu benar Zulfa. Anaknya baik banget. Ganteng, sukses, mapan, terlahir dari keluarga baik-baik. Kan siapa tahu kalian cocok. Seandainya nggak cocok pun, ya nggak masalah."
"Itu benar! Di satu sisi, itu juga baik buat kamu Zulfa. Apalagi kalian sama-sama pengusaha. Jika kalian menikah, walaupun berstatus istri. Tapi kamu tetap bisa bekerja dan menjalankan bisnis kamu. Apalagi yang kamu tunggu di usia 25 tahun ini selain membina rumah tangga dan punya anak?"
"Em, nanti Zulfa pikirkan lagi deh Pap, Mam."
"Lah nggak usah di pikir. Kelamaan nak. Ini cuma kenalan aja jadi teman, begitu. Kalau berteman biasa bagi Papi nggak masalah.. Iya kan, Mami?"
Wanita paruh baya itu tersenyum mengangguk. Sejenak, Zulfa menatap kedua orang tuanya yang terlihat sekali kalau dirinya harus segera menikah, memiliki menantu dan calon cucu. Zulfa memaksakan senyumannya. Ia mencoba menekan perasaan nyeri di dalam hatinya.
"Tanpa kalian sadari, sejujurnya aku sudah nggak perawan lagi dan pernah melahirkan. Sekarang setelah apa yang terjadi, nggak mudah buat aku untuk bisa berteman dengan pria manapun." sela Zulfa dalam hati.
****
Adelard terdiam menatap semua hidangan yang ada di meja makan malam ini. Biasanya, ia terbiasa makan sendiri tanpa harus bersama Nafisah. Tapi sekarang, kenapa ia memiliki keinginan untuk makan bersama istrinya itu?
Akhirnya Adelard berdiri dan menuju kamar Rafa. Seketika Adelard terdiam, ia melihat Nafisah tertidur di atas karpet bulu tebal sementara Rafa sendiri masih bermain di sebelah Nafisah.
Adelard menoleh ke arah jam dinding, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Seharusnya Rafa sudah tidur. Tapi kenapa malah Mamanya yang tertidur?
Dengan langkah pelan tanpa menimbulkan suara Adelard memasuki kamar itu. Ia pun segera menggendong Rafa dan tersenyum.
"Hei, kenapa kau belum tidur?"
Bukannya menjawab, yang ada Rafa malah merentangkan salah satunya tangannya sembari menunjuk sesuatu. Sebuah buku dongeng bergambar animasi anak-anak yang menceritakan tentang Nabi Muhammad dan Para Sahabat.
"Oke, Papa akan bacakan ini untukmu. Tapi janji ya, setelah ini kau harus tidur."
Maka Adelard pun akhirnya memilih duduk di sofa sudut ruangan sambil memangku Rafa. Adelard mulai membuka halaman demi halaman untuk membaca dongeng islami tersebut.
Menit terus berlalu. Rupanya bukan Rafa yang tertidur. Tetapi malah Adelard yang tertidur. Dengan wajah polos Rafa menatap Papanya sejenak. Tiba-tiba Rafa memilih turun dari sofa, ia mendekati Nafisah dan menepuk-nepuk pelan pipi Mamanya.
Sayup-sayup Nafisah terbangun. Kepalanya masih pusing dan serasa berputar.
"Ya Allah, sayang maafkan Mama! Mama ketiduran. Kenapa kamu belum tidur. Hm?" pandangan Nafisah tanpa sengaja melihat ke arah Adelard yang tertidur di sofa.
"Kenapa Papa bisa ada disini?"
Rafa langsung rewel dengan suaranya yang pelan sambil mengusap kedua matanya. Akhirnya, Nafisah pun menimangnya sejenak sampai akhirnya putranya itu benar-benar tertidur.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu tidur."
Nafisah segera meletakkan Rafa ke dalam box bayi. Tak lupa ia menutupinya dengan kelambu bayi agar terhindar dari gigitan nyamuk. Setelah itu, Nafisah menoleh ke arah Adelard. Ia pun mendekatinya sambil membawa selimut tebal yang baru saja ia ambil dari dalam lemari.
Sebelum menyelimuti Adelard, Nafisah terdiam. Ia menatap Adelard dengan pandangan penuh cinta. Wajah ini, adalah wajah surga yang selalu ia rindukan sampai kapanpun. Tapi ia akan mencoba ikhlas jika memang Adelard tidak akan kembali seperti dulu. Sosok suami yang penuh kehangatan.
Perlahan, Nafisah memilih duduk di sebelahnya tanpa menimbulkan suara. Nafisah tidak akan pernah bosan menatap wajah sosok pria yang dicintai seumur hidupnya.
"Mas Daniel.. Kapan kita bisa kembali seperti dulu?" sela Nafisah dalam hati.
Merasa kalau kedua matanya mulai memanas, Nafisah memutuskan untuk sedikit memajukan tubuhnya agar bisa menyelimuti tubuh Adelard dengan sempurna. Tapi tiba-tiba kedua mata pria itu terbuka. Nafisah sampai terkejut apalagi dengan posisi wajah yang sedekat ini.
Nafisah meneguk ludahnya dengan gugup. Lebih baik ia menghindar sekarang juga. Namun sepertinya, semua itu hanya sia-sia begitu Adelard malah melingkarkan lengannya pada pinggul Nafisah dan menahannya agar tidak pergi..
****
Halo, Chapter 14 sudah up di blog aku ya. Kalian bisa cek di Instagram Story aku untuk swipe/klik chapter 14
Jangan lupa follow Instagram author untuk terus mendapatkan link chapter selanjutnya. Terima kasih 😊🙏
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Tik tok : @liarezavahlefi
Semoga Daniel bisa segera lembut lagi hatinya, bisa hangat lagi buat nafisah. Tapi takut nanti kecewa lagi kalo tau Rafa bukan anaknya 😌
BalasHapus