Adelard pergi berlalu dengan amarah yang sebisa mungkin ia tahan untuk kesekian kalinya. Ia tidak ingin membuat keributan di tempat mertuanya karena saat ini Nafisah berada di rumah orang tuanya. Adelard mempercepat langkahnya menuju halaman rumah yang terparkir mobilnya sampai akhirnya tiba-tiba Hanif datang menghadang kepergiannya.
"Daniel, aku bisa jelaskan padamu."
"Aku bukan Daniel,"
"Ah aku lupa itu nama samaranmu buat menipu-"
BUG!
Dalam sekali gerak Adelard melayangkan tinjuan pada wajah Hanif. Hanif pun terkejut dan tersungur ke tanah. Ia memegang ujung bibirnya yang berdarah, Hanif berdiri dan tersenyum sinis.
"Kau masih dendam kepadaku?"
"Dan kau masih bertanya? Kau penyebab semua dari permasalahan ini!"
"Aku hanya menjalankan tugasku. Lagian-"
"Tugasmu? Ck! Tugas terselubung untuk merebut Nafisah dari awal?"
"Karena Nafisah lebih pantas bersanding dengan pria yang jujur dan bertanggung jawab sepertiku. Apa kau masih juga tidak menyadarinya? Kau penipu yang juga mencuri hati Nafisah."
Emosi Adelard makin terpancing hingga akhirnya Adelard mulai kembali melayangkan tinjuan dan-
"BERHENTI!"
BUG!
Terlambat....
Itu situasi yang menggambarkan saat ini, pukulan yang harusnya mengenai wajah Hanif justru malah mendarat tepat di pipi Nafisah. Nafisah memegang pipinya yang terasa nyeri hingga kebagian tulang dalam pipinya. Air mata menetes bersamaan antara rasa sakit dan sesak pada hatinya selama berhari-hari.
"NAFISAH!"
"NAFISAH!"
Adelard dan Hanif sama-sama terkejut melihat Nafisah. Adelard langsung membantu Nafisah berdiri sambil memegang kedua pundaknya. "Apa yang kamu lakukan? kamu berusaha melindungi pukulanku buatnya dan membelanya? HAH!"
"Aku.. aku hanya ingin melerai kalian." jawab Nafisah terbata-bata
BUG!
Satu pukulan mengenai pipi Adelard yang berasal dari Hanif. "Tega-teganya kau membuat Nafisah terluka. Apakah melukai di bagian hati dan perasaannya saja tidak cukup sampai-sampai kau juga melukai fisiknya HAH!?"
"Mas Hanif, sudah, sudah cukup.." isak Nafisah. Tolong pergi dari sini, ini urusan rumah tanggaku.
"Tapi Naf-"
"PERGI!" Bentak Nafisah frustasi.
Akhirnya Hanif mengalah dan pergi dari sana hingga kesunyian menyisakan mereka berdua.
"Ayo aku antar ke dalam. Terima kasih sudah melindungiku dari pukulan Adelard, Nafisah." Hanif berusaha membujuk Nafisah sekali lagi sambil menatap Adelard dengan tatapan sinis. Hanif sengaja berkata sombong dengan rasa percaya diri "Nanti biar aku yang obatin luka kamu."
"Enggak, aku mau ngomong sama dia... - MAS!"
Adelard pergi dengan amarah dan benci yang terpendam. Hanif bukan mahram Nafisah. Bisa-bisanya pria itu berani menawarkan diri untuk mengobati Nafisah. Tanpa membuang waktu Ia langsung membuka pintu mobilnya namun secepat itu Nafisah menahannya.
"MAS! KITA HARUS BICARA!"
"Aku salah karena sudah menilaimu baik selama ini."
Nafisah menggeleng cepat. "Ini hanya kesalahpahaman yang kesekian kalinya-"
"Salahpaham? CK!" Adelard tertawa sinis. "Sederhana saja, katakan padaku. Rafa anakku atau Marcello?"
Bibir Nafisah langsung terbungkam, jujur memang menyakitkan. Tetapi itulah kenyataannya. Jika ia menjelaskan sekarang apakah Adelard langsung percaya? Lalu apa yang akan di lakukan pria itu terhadapnya? belum lagi kenyataan pahit kalau Adelard hendak menikah lagi dengan Ciara.
"Sudah kuduga, kamu tetap tidak bisa menjawabnya."
"Mas, tolong jangan pergi. Maafkan aku, kita bisa bicarakan ini baik-baik."
"Baik-baik katamu?" Adelard menjauhkan tangan Nafisah dari pintu mobilnya. Tak hanya itu, ia juga melepaskan cincin pernikahan yang tersemat di jari manisnya sambil memegangnya tepat didepan wajah Nafisah
"Kalau kamu jujur, aku akan memaafkanmu. Jika tidak, aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi."
Nafisah menarik napasnya dengan panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ia harus menjawab pertanyaan dari Adelard saat ini juga. Nafisah berusaha untuk yakin kalau setelah ini ia akan berjanji pada dirinya sendiri untuk berbenah dan intropeksi diri. Nafisah menundukkan wajahnya dengan rasa malu, takut, penyesalan dan gugup. Ia memegang kedua tangannya yang terasa dingin ketika jari-jarinya saling bertautan.
"Aku..."
"Rafa anakku atau Marcello?"
"Itu..Ra.. rafa.."
Adelard menghembus napas dengan kasar dan menepis pundak Nafisah. "Aku tidak punya waktu untuk meladeni penghianat sepertimu!"
"IYA! MARCELLO ADALAH AYAH RAFA,,,"
Detik itu juga Nafisah merosot ke tanah dan terduduk sambil menangis. Ia menutup mulutnya agar tangisannya yang kencang tidak terdengar menyedihkan dengan rasa malunya walaupun semua itu hanyalah sia-sia.
Kedua mata Adelard mulai memanas dan sebentar lagi ia akan menangis seperti pria bodoh yang buta di kelabui dengan cinta dan perasaan bahagia. Adelard tidak ingin terlihat seperti itu. Bagaimana bisa Nafisah berzinah dengan Marcello? membayangkan istrinya tidur bersama pria itu membuat jiwa kriminalnya untuk membalas dendam pada Marcello ataupun Nafisah seketika datang di dalam dirinya.
Tetapi Adelard menahan diri untuk tetap tidak mengotori tangannya dengan pertumpahan darah yang sia-sia. Semua sudah jelas, dari cara dan tindakan Marcello sebelumnya yang sering ke rumahnya secara tiba-tiba bahkan menghubungi Nafisah hanya untuk bertanya bagaimana keadaan Rafa, sudah membuktikan semuanya. Jika semua itu tidak benar, kenapa pria itu tidak bertanya langsung padanya? Kenapa harus menghubungi Nafisah?
Adelard mengepalkan tangannya dan melempar cincin pernikahan yang ia pegang tadi ke arah Nafisah, Cincin itu terjatuh tepat di atas paha wanita itu.
"Yang asli hanya cincin dan surat pernikahan kita. Tetapi soal cinta, kamu menipuku selama ini."
Adelard memasuki mobilnya dan menutup pintunya. Nafisah langsung berdiri dan mengetuk pintu kaca mobilnya.
"BUKA PINTUNYA! JANGAN PERGI! BUKA!"
Suara mesin mobil yang di nyalakan terdengar. Nafisah semakin panik dan nekat melangkah berada tepat didepan mobil pria itu, bahkan ia tidak perduli cahaya mobil yang begitu silau mengenai pandangannya. Adelard terus menginjak gas dengan pijakan yang kencang hingga menimbulkan suara mesin yang nyaring. Ponsel Nafisah berdering, Adelard menghubunginya.
"Pergi atau aku akan menabrakmu hingga mati."
"Lakukan jika Mas bisa berani. Maka Mas akan kehilangan aku dan anak kita yang sedang aku kandung!"
"Memangnya aku percaya kalau itu anakku? Bahkan aku menangkap basah melihatmu bersama Hanif berduaan di kamar."
"Mas..." Nafisah frustasi, suaranya terdengar getir
"Istri sepertimu memang pantas mati dan jadi penghuni neraka. Kamu lupa kalau aku sudah mendapatkan pengganti dirimu kalau kamu mati hari ini? Bahkan Ciara pun sudah menungguku.."
Detik itu juga tanpa ragu Adelard menginjak rem dan mulai memasukkan gigi mobilnya. Pria yang di kuasai amarah itu langsung menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi sambil melaju lurus menuju Nafisah.
******
Adelard kalau sudah emosi bisa lepas kendali 😖ðŸ˜
Makasih sudah baca, sehat selalu buat kalian..
With Love, Lia
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Next chapter 48. Klik link di bawah ini :
https://www.liarezavahlefi.com/2025/09/chapter-48-semua-sudah-berakhir.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar